Sabtu, 20 April 2024

Begini Analisis Omnibus Law UU Cipta Kerja, Kluster Pemerintahan Daerah Menurut Pengamat Hukum Unmul

Kamis, 22 Oktober 2020 5:59

IST

POLITIKAL.ID, SAMARINDA - Pengamat hukum memberikan analisisnya, utamanya pelaksanaan administrasi pemerintahan untuk mendukung cipta Kerja.

Melalui forum webinar seri sekolah bersama volume XI, pengamat hukum, Herdiansyah Hamzah mengatakan omnibus Law UU Cipta kerja menurutnya ahistoris terhadap trauma kolektif masyarakat Indonesia (terutama di daerah), terhadap sentralisme kekuasaan orde baru Soeharto.

Desakan resentralisasi dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini, mendorong mundur desain desentralisasi dan semangat otonomi daerah yang menjadi salah satu poin penting tuntutan reformasi dan bertentangan dengan Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B UUD 1945.

Pasal 174, dengan berlakunya Undang-Undang ini, kewenangan menteri, kepala lembaga, atau Pemerintah Daerah yang telah ditetapkan dalam undang-undang untuk menjalankan atau membentuk peraturan perundang-undangan harus dimaknai sebagai pelaksanaan kewenangan Presiden (Halaman 475).

"Secara teoritik, ini benar. Tapi satu pasal ini jangan sampai menghapus dosa pasal-pasal lainnya dalam Omnibus Law UU Cipta Kerja lainnya, terutama yang memangkas kewenangan daerah," ujar Herdiansyah Hamzah menjelaskan menjelaskan secara online.

Lalu tentang UU 30/2014 tentang administrasi pemerintahan. Diantara Pasal 1 angka 19 dan Pasal 1 angka 20 disisipkan 1 (satu) angka baru yakni, angka 19a yang berbunyi standar adalah Keputusan Pejabat Pemerintahan yang berwenang atau Lembaga yang diakui oleh Pemerintah Pusat sebagai wujud persetujuan atas pernyataan untuk pemenuhan seluruh persyaratan yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” (halaman 477).

"Penafsiran tentang standar dimonopoli pemerintah pusat, sehingga terjadi penyeragaman yang menegasikan ciri dan keberagaman yang berkembang dimasing-masing daerah. Izin sendiri sebagai sebuah instumen pemerintah, memilki makna intrinsik mengenai standar, namun UU ini memberi ruang bagi pemerintah pusat untuk merekonstuksi tafsir mengenai standar sesuai dengan selera investasi. Anehnya lagi, standarisasi ini hanya bermodalkan keputusan subjektifitas," imbuh Castro sapaannya

Lalu kata dia lagi, itu meubah ketentuan pasal 24 UU 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Ketentuan tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dihilangkan sebagai syarat penggunaan diskresi bagi pejabat pemerintahan (halaman 478).

"Penggunaan diskresi dalam upaya mencapai target investasi sebagaimana tujuan Omnibus Law UU Cipta Kerja, akan melabrak semua aturan perundang-undangan yang ada. Ini semacam privilage bagi pejabat pemerintah untuk mengambil tindakan diskresi, tanpa harus khawatir dianggap melakukan perbuatan melawan hukum," sebutnya.

Lalu tentang pasal 39a, pembinaan dan pengawasan terhadap Izin, standar, dispensasi, dan atau Konsesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikerjasamakan dengan atau dilakukan dengan profesi yang memiliki sertifikat keahlian sesuai dengan bidang pengawasan” (halaman 479).

"Ketentuan ini memberikan ruang bagi Pemerintah untuk cuci tangan terhadap pengawasan, yang sejatinya melekat sebagai bertanggungjawabnya," bebernya lagi.

Lebih lanjut kata dosen pengajar Hukum, Unmul mengatakan ada pasal tambahan yakni, pasal 16 ayat (2), penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mengacu atau mengadopsi praktik yang baik (good practices) (halaman 481).

"Perlu dipahami apa maksud frase praktik yang baik ini. Yang pasti, ukuran “praktik yang baik tersebut, tentu sangat subjektif dan ditentukan seberapa menguntungkan bagi kebijakan investasi yang sepenuhnya di bawah kendali pemerintah pusat," ulasnya.

Lajut pasal 250, perda dan perkada sebagaimana dimaksud dalam pasal 249 ayat (1) dan ayat (3) dilarang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, asas materi muatan peraturan perundang-undangan, dan putusan pengadilan (halaman 481).

"Frase kepentingan umum termasuk ayat (2) yang menjelaskan maknanya, dihapus (terganggunya kerukunan antarwarga masyarakat, terganggunya akses terhadap pelayanan publik, terganggunya ketenteraman dan ketertiban umum, terganggunya kegiatan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat; dan/atau diskriminasi terhadap suku, agama dan kepercayaan, ras, antar-golongan, dan gender). Artinya, ini membuka ruang perda-perda diskriminatif, sepanjang menguntungkan investasi," jelasnya.

Seoanjutnya pasal 251, agar tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, asas materi muatan peraturan perundang-undangan, dan putusan pengadilan, penyusunan Perda dan Perkada berkoordinasi dengan kementerian yang membidangi urusan pemerintahan dalam negeri dan melibatkan ahli dan/atau instansi vertikal di daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan (halaman 481).

Ketentuan ini memberikan semacam hak veto bagi pemerintah pusat melalui kementerian terkait dan instansi vertikal, untuk menolak usulan dan rancangan peraturan daerah, yang dianggap bertentangan dengan Pemerintah Pusat, khususnya menyangkut kepentingan investasi (Konsep Executive Review?)

Lalu pasal 349 ayat (1), daerah dapat melakukan penyederhanaan jenis dan prosedur pelayanan publik untuk meningkatkan mutu pelayanan dan daya saing daerah dan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta kebijakan Pemerintah Pusat” (halaman 483).

"Kendatipun daerah diberikan ruang untuk menyederhanakan pelayanan publik, namun keseluruhan norma, standar, prosedur, kriteria, harus didasarkan kepada ketentuan dan kebijakan Pemerintah Pusat," sebut alumnus Unhas Makassar itu.

Lalu pasal 350 ayat (1), kepala daerah wajib memberikan pelayanan perizinan berusaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan pemerintah pusat, juncto Pasal 350 ayat (4), pelayanan perizinan berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menggunakan sistem perizinan berusaha secara elektronik yang dikelola pemerintah pusat. Lalu juncto Pasal 350 ayat (5), kepala daerah dapat mengembangkan sistem pendukung pelaksanaan sistem perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sesuai dengan standar yang ditetapkan pemerintah pusat (halaman 483).

"Corak sentralistik begitu kuat dalam ketentuan pasal ini, dimana kendali perizinan mutlak berada di tangan pemerintah pusat. Sistem elektronik ini memang penting untuk memotong “high cost economy”, tetapi jika berada di bawah kendali pemerintah pusat an sich, dengan meminimalkan peran daerah, justru sangat berbahaya. Investasi tidak akan mempertimbangkan aspek kepentingan daerah lagi, termasuk ruang kehidupan masyarakat," bebernya.

Di antara pasal 402 dan 403 disisipkan 1 (satu) pasal yakni, pasal 402A yang berbunyi, pembagian urusan pemerintahan konkuren antara pemerintah pusat dan daerah provinsi serta daerah kabupaten/kota sebagaimana tercantum dalam lampiran Undang nomor 23 Tahun 2014, tentang pemerintahan daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 9 Tahun 2015, tentang perubahan kedua atas Undang-Undang nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah harus dibaca dan dimaknai sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang tentang Cipta Kerja (halaman 484).

"Aturan induk yang menentukan urusan pemerintahan konkuren antara pusat dan daerah, kini bukan lagi di UU 23/2014, tetapi aturan payung yang akan digunakan adalah omnibus law UU Cipta Kerja ini. Seolah terjadi pemaksaan prinsip, lex posterior derogat legi priori," terangnya.

Lebih lanjut, kewenangan daerah yang ditakeover pemerintah pusat (Penataan Ruang) – Pasal 17 (halaman 9).

Pasal 9, penyelenggaraan penataan ruang dilaksanakan pemerintah pusat, dimana ketentuan lebih lanjut akan diatur dalam peraturan pemerintah (halaman 14).

Apa yang dimaksud dengan peneyelenggaraan menurutnya yakni, penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang (lihat Pasal 1 angka 6).

Pasal 18, penetapan rencana tata ruang wilayah provinsi atau kabupaten/kota dan rencana detail tata ruang terlebih dahulu harus mendapat persetujuan substansi dari Pemerintah Pusat, dan paling lambat harus ditetapkan 1 bulan setelah substansi disetujui. Jika tidak ditetapkan oleh daerah, maka rencana detail tata ruang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat (halaman 16-17).

"Pasal 24 dan 27 dihapus. Rencana rinci tata ruang (kawasan strategis provinsi dan kabupaten/kota) yang sebelumnya ditetapkan dengan peraturan daerah provinsi dan kabupaten/kota, kini dihilangkan," sesalnya.

Pasal 37 ayat (1), persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 diterbitkan Pemerintah Pusat, juncto Pasal 37 ayat (2), persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dibatalkan oleh pemerintah pusat (halaman 22).

"Ketentuan di Pasal yang sama dalam UU 26/2007 tentang penataan ruang, izin pemanfaatan ruang yang kini diganti menjadi persetujuan pemanfaatan ruang, masih memberikan kewenangan perizinan kepada pemerintah daerah, termasuk dalam hal pembatalan bagi izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan ketentuan RTRW," ungkapnya.

Ayah satu anak itu menambahkan, kewenangan daerah yang ditakeover pemerintah pusat yakni pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau Kecil – pasal 18 (halaman 26)

Pasal 7 ayat (2), Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K) ditetapkan oleh Pemerintah Pusat (halaman 31).

Padahal dalam ketentuan sebelumnya, yang diatur dalam Pasal 9 ayat (5) UU 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, RZWP-3-K ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Dalam catatannya, pasal 9 ini dihapus dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja.
Pasal 7 ayat (4) huruf d, Jangka waktu berlalu selama 20 (dua puluh) tahun dan dapat ditinjau kembali setiap 5 (lima) tahun.

Namun dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) kali dalam periode 5 (lima) tahun, jika terjadi perubahan kebijakan nasional yang bersifat strategis (halaman 31-32).

"Artinya kebijakan nasional ini sangat ditentukan subjektifitas pemerintah pusat," tuturnya.

Belum lagi tentang kewenangan daerah yang Ditakeover pemerintah pusat (Lingkungan Hidup) – Pasal 21 (halaman 48)

Dari segi judul paragraf 3 ini, sudah menggambarkan perubahan terminologi izin lingkungan menjadi persetujuan lingkungan (halaman 48).

Pasal 21 yakni, dalam rangka memberikan kemudahan bagi setiap orang dalam memperoleh persetujuan lingkungan, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan terkait Perizinan Berusaha yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (halaman 48).

"Prinsip perlindungan lingkungan hidup, seharusnya mempersulit izin lingkungan untuk menjaga dampak yang ditimbulkan. Sedangkan ini, justru memberikan izin semudah mungkin," herannya.

Sementara pasal 20 ayat (3) huruf b berbunyi, setiap orang diperbolehkan untuk membuang limbah ke media lingkungan hidup dengan persyaratan, mendapat persetujuan dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah (halaman 52).

"Pemerintah pusat dapat memveto persetujuan pembuangan limbah ke media lingkungan hidup, kendatipun terdapat opsi atau pemerintah daerah dalam ketentuan tersebut," katanya.

Pasal 24 ayat (2), uji kelayakan lingkungan hidup (AMDAL) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan tim uji kelayakan lingkungan hidup yang dibentuk lembaga uji kelayakan lingkungan hidup Pemerintah Pusat (halaman 53).

"Dalam pasal 29 ayat (1) UU 32/2009, dokumen Amdal dinilai komisi Amdal, termasuk Gubernur, atau Bupati/Walikota. Ketentuan Pasal 29 ini dihapus dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja.

Lanjut pasal 34 ayat (4), pemerintah pusat menetapkan jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi UKL-UPL (halaman 55).

Dalam ketentuan Pasal 34 ayat (2) UU 32/2009 disebutnya, kewenangan untuk menetapkan jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan UKL-UPL, berada ditangan Gubernur atau Bupati/Walikota.

Ketentuan Pasal 36 dihapus (halaman 55). Pasal ini mengenai ketentuan izin lingkungan (Amdal dan UKL-UPL) dimana Gubernur atau Bupati/Walikota, sebelemnya diberikan kewenangan untuk menerbitkan izin lingkungan.
Pasal 63 ayat (2) juncto Pasal 63 ayat (3), menegaskan bahwa tugas dan wewenang Provinsi dan Kabupaten/Kota harus sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat (Halaman 58-59).

Pasal 82 ayat (1), Pemerintah Pusat berwenang untuk memaksa penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan pemulihan lingkungan hidup akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang dilakukannya (halaman 62).

"Kewenangan untuk memaksa penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan pemulihan lingkungan hidup, sebelumnya juga berada di tangan Gubernur atau Bupati/Walikota. Kedepan, bisa dipastikan upaya paksa pemulihan lingkungan, akan menjadi sangat birokratis dan lamban," ujarnya lagi.

Lain-Lain juga menurut Castro, pasal 39 yang merubah ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (halaman 147).

Pasal 128A ayat (1), pelaku usaha yang melakukan peningkatan nilai tambah batu bara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (2), dapat diberikan perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128.

Pasal 128A ayat (2), pemberian perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kegiatan peningkatan nilai tambah batu bara dapat berupa pengenaan royalti sebesar 0% (nol persen).

Implikasi Resentralisasi dalam Omnibus Law UU Cipta Kerja ini yakni, semangat otonomi daerah seluas-luasnya sebagaimana mandat Pasal 18 ayat (2) UUD 1945, menjadi terbaikan.

"Jadi sama saja mengabaikan partisipasi daerah, dalam setiap tindakan pemerintah, khususnya yang menyangkut kebijakan strategis. Jelas ini berdampak terhadap anggaran dan kemampuan fiskal daerah, akibat kewenangan yang kini diambil alih oleh Pemerintah Pusat (Dana Perimbangan : DAU, DAK, dan DBH)," terangnya.
Selain itu juga "Ini menciptakan relasi patron-client antara daerah dan pusat. Bahkan dalam banyak kasus, anggaran yang dikucurkan ke daerah, sangat ditentukan tingkat kepatuhan daerah terhadap pusat. Sehingga berakibat terhadap disparitas pengetahuan terhadap situasi di daerah, yang sejatinya jauh lebih dipahami pemerintahan daerah," sambungnya.

Karena menurutnya, sentralisme kekuasaan itu menuntut stabilitas ekonomi dan keamanan, terlebih jika bertujuan untuk melayani investasi.

"Maka kekuasaan menurut saya cenderung bergerak ke arah otoritarianisme," pungkasnya. ( Redaksi Politikal - 001 )

Tag berita:
Berita terkait