POLITIKAL.ID - Pelaksanaan pilkada serentak 2020 di tengah grafik covid-19 yang belum melandai, berpotensi menimbulkan persoalan-persoalan baru yang akan berdampak pada kualitas pilkada.
Salah satu problem krusial adalah potensi penyalahgunaan program bantuan sosial (bansos) kepada masyarakat terdampak covid-19 untuk kepentingan politik (bakal) calon khususnya petahana (incumbent).
Hal ini dikemukakan Direktur Eksekutif Citra Institute Yusa’ Farhan.
Sejauh ini menurut dia, di beberapa daerah program perlindungan dan jaring pengaman sosial dalam bentuk bansos tersebut justru “diboncengi” dengan kepentingan pencitraan kandidat petahana yang merugikan bakal pasangan calon lainnya.
Jika persoalan ini dibiarkan tanpa pengawasan dan penindakan hukum, maka pelaksanaan pilkada menjadi semakin kompleks karena dibayangi oleh praktek politik transaksional yang dilakukan secara terbuka.
“Bakal pasangan calon petahana yang secara infrastruktur menguasai sumber daya politik dan ekonomi lokal hendaknya tetap memperhatikan asas transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan program-program daerah khususnya program bansos dan hibah yang berkaitan dengan dampak sosial, ekonomi dan kesehatan akibat pandemi covid-19,” ujarnya, Selasa (28/7).
Ditambahkannya, proses pemilihan kepala daerah harus menjamin berlangsungnya pertarungan yang fair antar pasangan calon berbasiskan kompetensi, integritas, kapabilitas dan program-program yang diharapkan dapat memperkuat literasi elektoral bagi masyarakat dalam rangka menciptakan pilkada yang sehat dan demokratis.
“Sebagai momentum sirkulasi kepemimpinan elite lokal, pilkada di era pandemi covid-19 harus tetap dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil,” tambah dia.
Sebagaimana diketahui, pandemi covid-19 telah menyebabkan lumpuhnya aktivitas perekonomian terutama di daerah-daerah zona merah dan melahirkan kantong-kantong kemiskinan baru.
Problem utama yang dihadapi tentu saja adalah menurunnya daya beli yang berimbas pada ketidakmampuan masyarakat terutama masyarakat miskin dalam menyediakan pasokan logistik (kebutuhan pangan) untuk rumah tangga mereka.
Dalam situasi pandemi, model bansos sembako menurutnya, menjadi semakin populis dan berpotensi besar menjadi “role model” program unggulan para kandidat kepala daerah baik petahana maupun non petahana untuk menjaring suara.
Pada titik inilah, kecenderungan terjadinya politik transaksional dan praktik-praktik “vote buying” akan semakin intens.
Politik uang lagi-lagi menjadi masalah pelik yang mewarnai proses sirkulasi kepemimpinan lokal di tengah pandemi.
Yusa’ begitu ia biasa disapa, sebagai bagian dari elemen civil society yang peduli terhadap penguatan dan rekonsolidasi demokrasi lokal, pihaknya mendesak agar Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) untuk pro aktif melakukan tindakan pencegahan dan penindakan penyalahgunaan program bansos covid-19 untuk kepentingan (bakal) calon petahana di daerah-daerah yang menyelenggarakan pilkada.
“Dalam hal ini KPU dan Bawaslu juga harus tegas memberikan sanksi kepada kandidat petahana yang menyalahgunakan program penanganan pandemi covid-19 untuk kepentingan pencitraan dan kampanye terselubung,” tegasnya.
Yusa’ mengacu pada pasal 71 (3) jo ayat (5) UU Nomor 10 Tahun 2016 mengatur bahwa petahana dapat dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota jika terbukti menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih.
Ia mengajak kepada seluruh elemen masyarakat sipil untuk bersama-bersama mengawasi pelaksanakan pilkada agar dapat berlangsung secara demokratis dan berkualitas sebagai wujud partisipasi politik warga negara. (*)