Jumat, 29 Maret 2024

Tanggapi Berbagai Persoalan di KPK, Koalisi Masyarakat Antikorupsi Indonesia Buka Suara 

Senin, 17 Mei 2021 19:24

IST

POLITIKAL.ID, SAMARINDA - Nasib pemberantasan korupsi di Indonesia kini sudah mengalami sakaratul maut. ‘Berani jujur, Pecat!’ mungkin adalah semboyan yang saat ini digaungkan oleh Ketua KPK Firli Bahuri. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibentuk untuk bertugas menyelamatkan uang rakyat dari tindak pidana korupsi kini sudah dibunuh secara sistematis. Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai benteng terakhir penyelamat KPK telah gagal menjalankan mandat utamanya sesuai pembukaan konstitusi karena mengabaikan aspirasi rakyat dengan menolak Pengujian Perundang-Undangan secara Formil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Seperti yang kita ketahui bersama, substansi UU KPK secara terang benderang telah melumpuhkan KPK, baik dari sisi profesionalitas maupun integritasnya. Mulai dari hilangnya independensi, pembentukan dan fungsi berlebih Dewan Pengawas, polemik kewenangan penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), hingga alih status kepegawaian KPK ke Aparatur Sipil Negara (ASN). Hasilnya sudah terbukti, implikasi dari UU KPK tersebut telah mempersulit kinerja KPK, mulai dari kegagalan KPK dalam memperoleh barang bukti saat menindak kasus tipikor, hilangnya aktor kunci dalam kasus tipikor yang tidak ditemui hingga sekarang, hingga penerbitan SP3 untuk perkara mega korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Selain itu, KPK juga mengalami degradasi etika yang cukup serius. Mulai dari pencurian barang bukti, praktek penerimaan gratifikasi, pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Ketua KPK, serta suap untuk menghentikan perkara korupsi yang ditangani pelan tapi pasti telah merusak reputasi KPK yang sejak lama justru jadi satu-satunya harapan rakyat dalam pemberantasan korupsi. Kini, pembunuhan KPK secara sistematis kembali dilakukan melalui Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Tes tersebut disinyalir menjadi upaya serangan balik para koruptor untuk menyerang penyidik-penyidik berintegritas KPK. 75 pegawai KPK yang diantaranya termasuk Novel Baswedan menjadi korban dari tes ‘abal-abal’ tersebut. Padahal mayoritas diantara mereka saat ini sedang mengawal kasus tipikor besar, seperti korupsi bantuan sosial (bansos), korupsi lobster, serta korupsi berbagai kepala daerah yang kemarin baru saja di tindak. Tes tersebut dikritik banyak pihak karena tidak memiliki komponen penilaian yang profesional dan cenderung menyerang privasi, seperti pertanyaan yang menyinggung keyakinan seseorang, rasis, seksis, serta pertanyaan-pertanyaan lainnya yang tidak relevan. Sungguh, Ketua KPK telah bertindak sewenang-wenang dengan memberhentikan 75 pegawai KPK. Dalam Ketentuan Peralihan UU KPK, dijelaskan bahwa KPK tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN dengan alasan apapun di luar desain yang telah ditentukan tersebut sesuai dengan Putusan MK Nomor 70/PUU-XVII/2019. Seharusnya, Firli Bahuri wajib mematuhi aturan hukum dan putusan MK yang telah menegaskan bahwa peralihan status kepegawaian tidak boleh merugikan pegawai itu sendiri. Hal ini kami nilai sebagai penyiasatan hukum dari Ketua KPK yang sejak awal memiliki kepentingan dan agenda pribadi untuk “menyingkirkan” para pegawai yang sedang menangani perkara besar yang melibatkan oknum-oknum yang kekuasaan. Berbagai kasus terkait pembusukan KPK yang terjadi saat ini semakin membuktikan bahwa implikasi dari Revisi UU KPK dan masuknya Firli Bahuri sebagai Ketua KPK telah membunuh pemberantasan korupsi itu sendiri. Berdasarkan hal tersebut, Koalisi Masyarakat Antikorupsi Indonesia menyatakan sikap sebagai berikut: 1. Mendesak Ketua KPK untuk membatalkan hasil seleksi TWK dikarenakan pertanyaan-pertanyaan TWK yang bersifat pribadi, seperti pertanyaan ajaran keyakinan, pertanyaan yang bersifat seksis, pertanyaan yang bermuatan pelecehan, pertanyaan yang menyinggung ras, serta pertanyaan-pertanyaan lainnya yang tidak ada hubungannya dengan wawasan kebangsaan seseorang; 2. Mendesak Ketua KPK untuk membatalkan pemberhentian terhadap 75 pegawai KPK yang diantaranya sudah terbukti rekam jejaknya memiliki integritas, berkomitmen tinggi dalam melakukan pemberantasan korupsi, serta sedang dalam menangani kasus tindak pidana korupsi untuk menyelamatkan raupnya uang negara; 3. Mendesak MK untuk menegaskan bahwa dengan adanya pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN, sebagaimana telah ditentukan mekanismenya sesuai dengan Ketentuan Peralihan UU KPK. Dalam Ketentuan Peralihan UU KPK, dijelaskan bahwa KPK tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN dengan alasan apapun diluar desain yang telah ditentukan tersebut sesuai dengan Putusan MK Nomor 70/PUU-XVII/2019. Sebab, para pegawai KPK selama ini telah mengabdi di KPK dan dedikasinya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi tidak diragukan; 4. Mendesak Ketua KPK untuk menyudahi segala bentuk tindakan yang ditujukan sebagai bagian dari proses pelemahan dan pembusukan KPK. 5. Mendesak Ketua KPK untuk menjalankan kewajiban pertanggungjawaban kepada publik atas pelaksanaan tugasnya dan membuka akses informasi sesuai Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) huruf c UU KPK atas hasil asesmen yang dijadikan penilaian dan kebijakan untuk menyingkirkan pegawai KPK melalui proses penelitian khusus (litsus); serta 6. Mendesak Ketua KPK untuk membentuk Tim Investigasi yang melibatkan partisipasi publik secara luas guna melakukan investigasi yang menyeluruh atas dugaan skandal pemberhentian pegawai KPK. Demikian pernyataan sikap Koalisi Masyarakat Antikorupsi Indonesia sebagai respon terhadap pelemahan KPK yang secara masif dilakukan belakangan ini. (*)
Tag berita:
Berita terkait