Bicara di Forum Kawan ICW, Akademisi Unmul Sebut Pembunuhan KPK Turut Serta Kontribusi Mundurnya Demokrasi di Indonesia
Jumat, 2 Juli 2021 5:2
IST
POLITIKAL.ID, SAMARINDA - Hasil riset dari The Economist Intelligence Unit, yang dirilis pada awal tahun 2021 lalu, menempatkan Indonesia sebagai negara demokrasi cacat atau flowers democratic. Indonesia menampati peringkat ke 94 dari 197 negara, dengan skor 6,30 poin. Itulah salah salah satu pembahasan oleh Herdiansyah Hamzah, Akademisi dari Universitas Mulawarman. Ia berbicara di forum diskusi garapan Kawan ICW, dengan tema Jokowi The King of Lip Service: Omong Kosinf Pemberantasan Korupsi & Penegakan HAM, Jumat (2/7/2021) melalui kanal Youtube. Castro sapaan akrabnya menyampaikan ada lima parameter yang digunakan The Economist Intelligence Unit, sebagai standar ukuran terhadap indeks demokrasi suatu negara termasuk menilai Indonesia. Soal politik elektoral, fungsi pemerintah, politik partisipasi, budaya politik, dan ada kebebasan sipil jadi standar ukuran menilai indeks demokrasi suatu negara. Meski Indonesia kini berada di kategori demokrasi cacat, Castro menilai ada kesan Indonesia tengah bergerak ke arah otoritarian. "Memang belum masuk kategori otoritarian, tapi kalau kita lacak sesungguhnya, Indonesia sudah bergerak ke atah otoritarian. Itu sulit dibantah," ungkapnya, saat berbicara di forum Kawan ICW. Dirinya melihat standar tebal demokrasi yang baik adalah bagaimana suatu negara memberikan perlindungan terhadap sipil warga Negara Indonesia. Namun mengutip sedikit peristiwa yang dialami BEM UI terkait meme Lip of Service dan beberapa kasus lainnya. Pembatasan kebebasan masyarakat sipil dalam menyampaikan tuntutan terjadi di mana-mana. "Data Amnesti Internasional mencatat ada 132 kasus pelanggaran kebebasan berekspresi, dengan total korban 147 orang sepanjang tahun 2020," jelasnya. Data Direktoral Tindak Pidana Siber Polri dari tahun 2017 hingga 2020 ada sekitar 15 ribu laporan, yang diselidiki oleh Direktoral Tindak Pidana Siber. Dari 15 ribu laporan 32 persen, 5000an laporan terkait pencemaran nama baik. Selebihnya ujaran kebencian dan penyebaran pornografi. Belum lagi data dari SAFEnet, menunjukan dari tahun 2016-2020 terdapat 768 perkara yang terkait dengan pasal-pasal bermasalah dari UU ITE, Pasal 27 ayat 2, 3, dan seterusnya. Dengan komposisi 70 persen laporan yang menyangkut laporan terhadap pejabat publik "Paling banyak melaporkan warga negara terkait dengan pencemaran nama baik adalah para pejabat publik. Padahal kosekuensi dari pejabat publik mestinya siap dikritik. Ini situasi paradoks," paparnya. "Saya pikir akan sangat sulit kita bantah bahwa Indonesia sedang mengalami kemunduran demokrasi," sambungnya. Salah satu poin yang mendapat perhatiannya terkait partisipasi publik. Hediansyah menilai ada kecenderungan penyingkiran politik partisipartif dalam pengambilan kebijakan di Indonesia. Menurutnya, hal itu terlihat bagaimana eksekutif maupun legislatif di Senayan, mendrive berbagai draf undang-undang yang sama sekali tidak melibatkan partisipasi publik. "Inikan menurut saya sebuah tontonan di mana demokrasi itu dibajak kepentingan elit politik, yang dibelakangnya juga itu ada kepentingan oligarki," tegasnya. Hal yang juga dianggap suatu kemunduran demokrasi di Indonesia, terlihat bagaimana negara saat ini tengah memutilasi KPK. Bahkan tidak hanya dari luar, KPK disebut juga dihancurkan dari dalam oleh elit-elit tertentu. "Pembunuhan terhadap KPK itu turut serta berkontribusi mundurnya demokrasi di Indonesia," tutupnya. (*)
Berita terkait