POLITIKAL.ID, SAMARINDA - Operasi Tangkap Tangan (OTT) dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Kabupaten Kutai Timur, kembali menambah deretan panjang kepala daerah yang terjerat kasus korupsi di Indonesia.
KPK telah menetapkan Bupati Kutai Timur dan Istrinya yang juga sekaligus menjabat sebagai Ketua DPRD Kutai Timur, beserta 3 orang Kepala OPD dan pihak swasta, sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi dalam pengadaan barang dan jasa.
Dugaan korupsi dalam kasus ini, ditengerai berhubungan erat dengan kepentingan Pilkada di Kutai Timur, yang sedianya akan digelar tahun 2020 ini.
OTT KPK di Kutai Timur tersebut, setidaknya mengajarkan kita tentang beberapa hal krusial, antara lain politik berbiaya tinggi (high cost politic).
Ini memang bukan satu-satunya faktor yang mendorong perilaku korup kepala daerah. Tapi biaya politik yang tinggi inilah, alasan yang memaksa para kandidat calon, khusunya petahana, untuk menghalalkan segala cara.
"Hasil kajian Litbang Kemendagri menunjukkan, untuk menjadi wali kota atau bupati dibutuhkan biaya mencapai 20-30 Milyar, sementara untuk menjadi gubernur berkisar 20-100 Milyar. Ongkos yang harus mereka keluarkan ini, tentu saja tidak sepadan dengan gaji yang bakal diterima oleh seorang kepala daerah," ujar Herdiansyah Hamzah dalam keterangan rilisnya, Sabtu (4/7/2020).
Lebih lanjut kata Castro sapaannya itu, terbongkarnya kasus itu pertanda masih kuatnya politik transaksional dalam proses pengadaan barang dan jasa.
Ini semacam jatah preman atau upeti yang diberikan sebagai tiket untuk memenangkan tender barang dan jasa.
Kepala daerah cenderung menggunakan pengaruhnya (trading in influence) untuk mengatur lalu lintas pemenang tender barang dan jasa, demi mendapatkan keuntungan pribadi dan kelompoknya.