Senin, 25 November 2024

Catahu Perguruan Tinggi, Evaluasi, Kebijakan, Penyelenggaraan dan Darurat Demokratisasi Kampus

Senin, 4 Januari 2021 1:17

IST

Presiden BEM FISIP UNMUL ; Iksan Nopardi

POLITIKAL.ID, SAMARINDA - Tahun telah berganti. 2021 gerakan mahasiswa terlebih di Samarinda tentunya memiliki catatan kritis di tahun ini, khususnya pada dunia pendidikan.

Ada berbagai kebijakan, penyelenggaraan, hingga pembungkaman nalar kritis mahasiswa.

Hal tersebut dirangkum dalam tulisan berikut. Judul diatas merefleksikan peran pendidikan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dalam satu tahun terakhir yang jauh dari demokratisasi yang diamanatkan dalam konstitusi, kebebasan berpendapat, kebebasan akademik, dan semakin menampilkan watak otoriter baik dari segi kebijakan maupun pada tataran akar rumput khususnya dunia pendidikan tinggi.

Dalam menarasikan kebijakan yang dikeluarkan Nadiem Makarim selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, perlu adanya evaluasi kebijakan yang dikeluarkan.

Pertama, Kampus Merdeka. Dengan alasan bahwa mahasiswa harus lebih inovatif dan kreatif.

Perguruan tinggi dituntut untuk dapat membentuk karakter mahasiswa sebagai pemimpin masa depan. Namun kalau kita telaah kembali, justru kebijakan kampus merdeka menjauhkan dari nilai-nilai tri dharma perguruan tinggi.

Mempersiapkan mahasiswa untuk bekerja dibidang industri. Yang paling menjadi sorotan adalah kemudahan Perguruan Tinggi untuk merubah statusnya menjadi PTN BH (Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum) yang justru semakin memperluas praktik komersialisasi pendidikan.

Karena, kampus dengan dalil otonomi non-akademik, akan mencari biaya sendiri untuk biaya operasional. Pada akhirnya, yang paling mudah dilakukan adalah menaikkan biaya kuliah. Outputnya justru jauh dari pasal 31 UUD 1945 ayat 1 yaitu setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.

Pendidikan tinggi akan semakin sulit dijangkau masyarakat menengah kebawah.

Lalu, Permendikbud Nomor 25 Tahun 2020 terkait keringanan UKT bagi mahasiswa selama pandemi covid-19. Kebijakan tersebut tidak menjawab permasalahan yang dihadapi mahasiswa.

Karena mahasiswa tetap wajib membayar UKT secara penuh pada setiap semester (Pasal 9 ayat 1).

Padahal, sangat rasional kemudian penurunan UKT karena proses perkuliaham dilakukan secara daring, yang secara tidak langusng penggunaan fasilitas dan sarana prasarana kampus tidak terpakai.

Terlebih dalam kondisi pandemi, harusnya keringanan UKT dilakukan secara general. Karena ada hak, yang berhak kita tuntut.

Kemendikbud cenderung lepas tangan terhadap persoalan tersebut, karena kebijakan itu kembali ke perguruan tinggi masing-masing.

Sehingga kampus dengan leluasa menentukan peraturan yang tidak berkeadilan, diskriminatif, serta jauh dari harapan mahasiswa dengan dalih dilegitimasi Permendikbud No.25 tahun 2020.

Selanjutnya, surat edaran Kemendikbud pada tanggal 09 Oktober 2020 yang bunyi dari surat itu secara tidak langsung memberi larangan kepada mahasiswa untuk tidak mengikuti kegiatan demonstrasi menolak UU Cipta Kerja.

Hal ini justru menciderai semangat reformasi dan kebebasan berpendapat warga negara khususnya mahasiswa. Padahal, kemerdekaan menyampaikan pendapat sudah diatur dalam konstitusi negara kita.

Demokratiaasi kampus dan Pembungkaman Nalar Kritis Mahasiswa
Tahun 2020 :

Menjadi catatan evaluasi tentang demokratisasi kampus bahkan pembungkaman nalar kritis mahasiswa. Tercatat semenjak Nadiem menjabat marak terjadi kasus sanksi akademik bahkan drop out terhadap mahasiswa.

Kita ketahui bersama bahwa kebebasan akademik, kebebasan berpendapat adalah bagian yang tidak dapat terpisahkan dan hal yang harus dijunjung tinggi civitas kampus.

Kilas balik terkait studi kasus penjatuhan sanksi drop out ditahun 2020 ini antara lain 28 Mahasiswa UKI Paulus, dikeluarkan dari kampus hanya karena melakukan aksi demonstrasi terkait syarat pengurus organisasi kemahasiswaan.

Kemudian, 37 Mahasiswa Universitas Nasional yang di skorsing dan drop out hanya karena menuntut keringanan UKT selama masa pandemi covid-19.
Bahkan, baru-baru ini seorang mahasiswa Unnes yaitu Frans Josua Napitu yang mendapat skors enam bulan hanya karena melaporkan Rektornya kepada KPK atas dugaan tindak pidana korupsi, dan masih banyak lagi.

Ketiga kasus diatas menjadi bukti konkrit pembungkaman, pengkerdilan ruang kebebasan sipil di lingkungan kampus.

Hal ini juga menjadi suatu kemunduran demokrasi di Indonesia, terlebih kampus. Karena, kampus sebagai institusi pendidikan harusnya tidak mengekang kebebasan berekspresi dan ruang gerak mahasiswa dalam menjalankan tanggung jawabnya sebagai kaum intelektual.
Catatan akhir tahun pendidikan tinggi ini, menjadi evaluasi dan kegagalan pemerintah khususnya Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan dalam hal membentuk kebijakan yang tidak diskriminatif dan berkeadilan untuk kepentingan anak bangsa dalam hal menncerdaskan kehidupan bangsa.

Serta kampus yang harus menjamin kebebasan berpendapat, berekspresi mahasiswa, menghargai dan menjunjung tinggi ruang-ruang kebebasan sipil. (001)

Tag berita:
Berita terkait