Minggu, 19 Mei 2024

Data Penerima Bansos Semerawut, Pemerintah Pusat dan Daerah Saling Serang

Rabu, 13 Mei 2020 4:10

Pekerja menyusun bantuan paket sembako dari Presiden Joko Widodo di Makassar, Sulawesi Selatan, Jumat (8/5/2020). (ANTARA/ARNAS PADDA)

POLITIKAL/ID - Sejak diumumkan pada awal Maret 2020, bantuan sosial (bansos) bagi warga terdampak pandemi virus corona (Covid-19) menuai beragam masalah. Kesemrawutan data penerima bantuan memantik perdebatan sengit antara pemerintah pusat dan daerah.

Salah satu kasus pertama yang mencuat ke publik ada di Bekasi. Saat itu, publik dihebohkan dengan kabar pemilik dua mobil menerima bansos. Sementara 20 KK yang berhak di RT 04/RW 09 Kelurahan Telukpucung, Bekasi Utara justru tak mendapat bantuan sama sekali.

Beberapa tokoh masyarakat di sana pun mengecek data yang digunakan kelurahan dalam penyaluran bantuan. Mereka menemukan data yang digunakan adalah penerima bantuan langsung tunai (BLT) tahun 2010.

Kejanggalan data bansos juga terungkap di DKI Jakarta. Anggota DPRD DKI Jakarta Fraksi PDIP Jhonny Simanjuntak dibuat heran saat namanya masuk daftar penerima bansos dari Pemprov DKI. Hujan kritik pun dilayangkan Fraksi PDIP di DPRD DKI Jakarta kepada Pemprov DKI.

Perdebatan semakin memanas saat Menteri Sosial Juliari Batubara membawa kisruh data bansos ke Rapat Kerja Komisi VIII. Juliari mengklaim menemukan sejumlah kejanggalan dalam urusan penyaluran Bansos di Jakarta.

Politikus PDIP itu mengaku telah terjun ke 15 titik di Ibu Kota. Hasilnya, ia menemukan sasaran bansos telah menerima bantuan dari Pemprov DKI Jakarta.

"Pada saat ratas terdahulu, kesepakatan awalnya tidak demikian. Gubernur DKI meminta bantuan pemerintah pusat untuk meng-cover bantuan yang tidak bisa di-cover oleh DKI," kata Juliari dalam Rapat Kerja Komisi VIII yang disiarkan langsung akun Youtube DPR RI, Rabu (6/5).

Juliari menambahkan hingga hari itu baru 955.312 KK dari sekitar 1,3 juta KK yang telah menerima bansos. Dia beralasan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tak kunjung mengirim data sisanya.

Dalam rapat itu juga, Juliari menyalahkan para kepala daerah dan dinas sosial di daerah atas kesemrawutan data bansos. Menurutnya, keterlambatan dan ketidaktepatan penyaluran bansos karena didasari unsur politik di daerah.

Dia juga bilang dalam bansos kali ini Kemensos tak murni menggunakan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Dengan alasan ada potensi orang miskin baru saat pandemi corona, Kemensos menyerahkan masalah data ke pemda. Namun Juliari juga bilang data itu tak melalui verifikasi oleh Kemensos.

"Kemensos terima dan tidak akan cek lagi. Kenapa? Karena tidak punya waktu. Ini hanya tiga bulan program ini. Kalau waktu kami hanya dihabiskan untuk cek ke lapangan, Covid-nya selesai, bantuannya belum datang," tutur Juliari.

Serangan Balik Kepala Daerah

Pernyataan-pernyataan tajam Juliari dalam menampik kritik terkait bansos menuai respons dari pemerintah daerah. Gubernur Anies Baswedan yang beberapa kali disentil Juliari dalam rapat itu angkat suara.

Dalam wawancara bersama TvOne pada Sabtu (9/5), Anies membantah hampir seluruh pernyataan Juliari. Anies membantah ada penyaluran bantuan secara ganda ke penerima bansos di Jakarta.

Dia bercerita PSBB di DKI telah dimulai sejak 10 April, tapi bansos dari pemerintah pusat baru turun 20 April hingga 6 Mei. Menurutnya, Pemprov DKI mengambil langkah awal dengan menyalurkan bansos pada 9-25 April.

"Jadi ini bukan pemberian sembako yang dobel, tapi pembagian untuk membuat mereka semua bisa mendapat pasokan pangan," kata Anies dengan nada meninggi.

Kritik juga dilancarkan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. Dia mengeluhkan sinkronisasi data antarlembaga terkait penerima bansos.

Emil, sapaan akrabnya, menyebut setiap lembaga punya data versi masing-masing. Hal ini berpotensi memicu kekacauan dalam penyaluran bansos.

"Mereka (masyarakat) mengira bantuan itu satu pintu, padahal tanggung jawab kita cuma satu (Bantuan Pemprov Jabar), kepala desa protes ke kami, masalah ketidakadilan ini dampak dari tidak akuratnya data," kata Emil mengutip Antara, Kamis (7/5).

Gubernur Jawa Timur, yang juga mantan Menteri Sosial, Khofifah Indar Parawansa pun angkat suara. Dia mengkritik data bansos yang dipakai oleh pemerintah pusat tidak mutakhir.

Khofifah mengungkap pemerintah berpatokan dengan DTKS yang terakhir diverifikasi pada 2015. Menurutnya, data itu bisa saja sudah tidak relevan. Terlebih lagi mengingat dampak ekonomi yang luar biasa dari corona.

"Apalagi kemudian ada orang yang seharusnya tidak miskin, tapi tiba-tiba terdampak Covid sehingga menjadi miskin," kata Khofifah.

Dia menuturkan harus ada perubahan besar dalam pengelolaan data penerima bansos. Khofifah menyarankan ada integrasi data dengan data kependudukan yang dikelola dukcapil.

Panggung Politik di Daerah

Analis Kebijakan Publik Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah mengatakan ada dua masalah utama dalam kesemrawutan data bansos yang berujung adu mulut antarpejabat pusat dan daerah.

Masalah pertama ada pada data penerima bansos yang lemah. Trubus bilang Kementerian Sosial tidak menjalankan aturan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin.

"Data itu menurut saya lemah ya, dalam arti data itu sekian lama enggak pernah di-update. Kan harusnya data itu di-update 6 bulan sekali, tapi hasil temuan BPK menemukan data itu tahun 2014," kata Trubus saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (11/5) malam

Keputusan Mensos Juliari menyerahkan data penerima bansos ke daerah juga dikritik Trubus. Menurutnya, hal itu tak perlu dilakukan jika Kemensos telah memperbaiki data secara berkala sesuai undang-undang. Dia juga menyebut kebijakan ini berisiko menimbulkan penyelewengan data penerima.

Masalah kedua menurut Trubus adalah politisasi bansos. Trubus melihat ada kecenderungan kepala daerah menyalurkan bantuan hanya kepada daerah pemenangannya. Hal itu membuat validitas data bansos menjadi dipertanyakan.

Politisasi bansos juga terjadi dalam hubungan pusat dengan daerah. Trubus menyayangkan tak ada keseriusan dari semua pihak mengurai kesemrawutan ini.

"Setelah ada temuan, bukannya langsung membenahi, tapi malah jadi panggung untuk saling menyalahkan," ujarnya.

Trubus mengatakan pemerintah pusat dan daerah perlu segera duduk bersama. Membentuk big data tunggal, kata Trubus, menjadi solusi tepat. DTKS harus dimutakhirkan berkala oleh Kemensos, kemudian diintegrasikan dengan data kependudukan Kemendagri. (*)

Artikel ini telah tayang di cnnindonesia.com dengan judul "Semrawut Data Bansos Corona, Saling Serang Pusat-Daerah"

Tag berita:
Berita terkait