POLITIKAL.ID - Anggota DPD RI asal Bali, Arya Wedakarna alias AWK menuai kecaman dari masyarakat Indonesia di media sosial setlah beberapa kali melakukan kontroversi.
Kali ini, pernyataan senator itu menyinggung SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan).
Berdasarkan potongan video yang beredar, Wedakarna menolak staf penyambut tamu atau frontliner Bandara I Gusti Ngurah Rai, Bali, menggunakan penutup kepala. Senator yang juga bekas personel boyband FBI itu tampak berbicara dengan nada tinggi di depan pihak bandara dalam sebuah rapat.
"Saya nggak mau yang frontline-frontline itu, saya mau gadis Bali kayak kamu, rambutnya kelihatan, terbuka. Jangan kasih yang penutup-penutup nggak jelas. This is not Middle East. Enak aja di Bali. Pakai bunga kek, apa kek, pakai bije di sini," kata Wedakarna sebagaimana dalam video yang beredar.
Pernyataan Wedakarna yang viral di media sosial itu dikecam Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bali. Kasus tersebut sekaligus menambah daftar kontroversi pria yang kembali maju sebagai calon DPD RI pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 itu.
Sebelumnya, Wedakarna pernah dipolisikan lantaran diduga mengaku-ngaku sebagai Raja Majapahit. Tak hanya itu, ia juga sempat didemo oleh warga Nusa Penida lantaran tersinggung dengan ucapan Wedakarna yang dianggap melecehkan keyakinan mereka. Berikut ulasannya.
Dikecam MUI Bali
Ketua Harian Bidang Hukum MUI Bali, Agus Samijaya, menyesalkan pernyataan Wedakarna yang menolak staf penyambut tamu Bandara I Gusti Ngurah Rai menggunakan hijab. Menurutnya, sikap Wedakarna itu bisa mengarah ke penistaan agama.
"MUI sangat prihatin dan kecewa dengan sikap dan perilaku AWK yang menurut MUI tidak pantas dilontarkan perkataan-perkataan seperti itu," ungkap Agus, Selasa (2/1/2024).
Agus mengungkapkan ucapan senator asal Bali itu juga mengandung esensi sikap rasisme. Menurutnya, tidak ada satu pun instansi pemerintah yang membuat kebijakan larangan menggunakan hijab dalam bekerja atau masyarakat lokal di posisi front line.
"Di daerah lain pun tidak ada aturan orang lokal harus di depan dalam bekerja di instansi apapun. Menurut saya itu yang menyentuh dapat berpotensi mencederai kerukunan antar umat beragama di Bali," imbuh Agus.
Agus berharap masyarakat Bali tidak terprovokasi dengan pernyataan yang dilontarkan Wedakarna. Ia menduga pernyataan berbau SARA itu hanya digunakan sebagai komoditas politik untuk meningkatkan elektoral di Pemilu 2024.
"Jangan-jangan itu hanya digunakan sebagai komoditas politik untuk meningkatkan elektoralnya di Pemilu 2024 dengan mencari perhatian publik," ungkap Agus.
"Dia harus ingat bahwa Bali adalah bagian dari NKRI bukan terpisah. Semua warga umat apapun berhak bekerja di Bali dengan memegang prinsip-prinsip agama masing-masing," imbuhnya.
Klarifikasi Wedakarna
Wedakarna kemudian memberikan klarifikasi terkait pernyataannya yang menuai kecaman tersebut. Dia mengatakan pernyataan itu disampaikannya dalam rapat Komite I DPD RI utusan Provinsi Bali bersama jajaran Bandara Ngurah Rai, Bea Cukai, dan instansi terkait di kantor Bandara Ngurah Rai pada 29 Desember 2023.
Wedakarna mengatakan dalam kesempatan itu dirinya memberikan arahan kepada petugas Bea Cukai di lokasi agar memprioritaskan putra-putri terbaik dari Bali menjadi frontliner bandara.
Ia berdalih video pernyataannya yang viral itu telah dipotong oleh sejumlah oleh orang yang tidak bertanggung jawab.
"Kedua, kami sampaikan bahwa saat itu kami memberikan arahan kepada petugas Bea-Cukai yang hadir dan juga pimpinan Bea-Cukai untuk, yang pertama, jika memungkinkan untuk bisa diprioritaskan putra-putri terbaik dari Bali untuk menjadi staf di bagian terdepan atau frontliner yang menyambut para tamu setelah mendarat pesawat di airport Ngurah Rai. Saya kira hal ini yang sangat wajar siapa pun dan di mana pun tetap semangat putra daerah menjadi cita-cita dari semua wakil rakyat," kata Wedakarna dalam video klarifikasi yang diunggah di akun Instagram.
Pernah Dipolisikan oleh Warga Nusa Penida
AWK juga pernah dilaporkan warga Nusa Penida, Klungkung, pada 3 November 2020 lantaran diduga melecehkan simbol agama Hindu. Berdasarkan laporan tersebut, AWK diduga merendahkan Ida Bhatara Dalem Ped yang ber-stana di Pura Dalem Ped, Desa Ped, Kecamatan Nusa Penida.
Pernyataan AWK kala itu juga menyulut kemarahan masyarakat yang tergabung dalam Perguruan Sandhi Murti. Warga mendemo AWK karena dianggap melecehkan simbol agama yang disucikan masyarakat Bali.
Aksi demo sempat ricuh saat Arya Wedakarna menemui massa yang demo di Jalan Cok Agung Tresna Renon, Denpasar, Bali, pada 28 Oktober 2020. Saat menemui pendemo, AWK mengaku sempat terkena pukul oleh salah satu pendemo.
"Kami sudah siapkan ruang rapat, kami tunggu 20 menit tidak ada yang mau ke atas untuk rapat karena aspirasi saya sebagai DPD harus dengan media dan dialog. Kemudian saya lihat sudah mulai keterlaluan karena sudah melakukan penghinaan secara pribadi dan sebagainya," kata AWK kepada wartawan ketika itu.
"Dan ketika mereka bilang aman saya merapat ternyata saya ada satu tindakan penganiayaan sebagai bukti ada penganiayaan di sini, kemudian di muka saya dan ada tadi video getok kepala saya," tambahnya.
Sesepuh Perguruan Sandhi Murti I Gusti Ngurah Harta menjelaskan kedatangannya ke kantor DPD Bali merupakan undangan dialog. Menurutnya, masyarakat Bali sangat tersinggung dengan pelecehan yang dilakukan oleh AWK terhadap sosok Ratuniang Ratugede yang dihormati masyarakat Bali.
"Sebenarnya kedatangan kami hari ini undangan dia tapi dia mengajak dialog kiami ke sana hanya ingin demo dan orasi supaya dia mendengarkan unek-unek masyarakat Bali. Masyarakat Bali sangat tersinggung sekali dengan pelecehan-pelecehan simbol yang dipuja oleh masyarakat Bali mengatakan makhluk padahal itu sosok yang sangat disucikan oleh masyarakat Bali disebut makhluk seperti Ratuniang Ratugede," kata Ngurah Harta.
Digeruduk Warga Bugbug
Masyarakat Desa Adat Bugbug pendukung pembangunan Detiga Neano Resort menggeruduk Kantor DPD RI Perwakilan Bali di Jalan Cok Agung Tresna, Kota Denpasar, Rabu (20/9/2023). (I Wayan Sui Suadnyana/detikBali)
Warga Desa Adat Bugbug, Kecamatan/Kabupaten Karangasem, Bali, juga sempat menggeruduk kantor DPD Perwakilan Bali di Jalan Cok Agung Tresna, Kota Denpasar. Mereka mengecam ucapan Wedakarna yang dinilai provokatif.
Tim hukum masyarakat Desa Adat Bugbug I Nengah Yasa Adi Susanto mengungkapkan kedatangan warga Bugbug itu untuk meminta klarifikasi dari Wedakarna. Menurutnya, Wedakarna provokatif saat menerima kelompok warga Bugbug yang menolak pembangunan Detiga Neano Resort.
"Tujuan kami mohon maaf bukan menyampaikan aspirasi. Kalau bagi kami tidak ada gunanya kami menyampaikan aspirasi kepada Saudara Wedakarna. Kami hanya ingin meminta klarifikasi," kata Adi Susanto di Gedung DPD RI Perwakilan Bali, Denpasar, Rabu (20/9/2023).
Warga Bugbug membawa sejumlah spanduk yang mengecam sikap Wedakarna. Beberapa di antaranya bertuliskan 'Wedakarna, hentikan provokasimu terhadap kasus perusakan dan pembakaran villa di desa Bugbug!!!'.
Tak hanya itu, ada pula spanduk bertuliskan 'Wedakarna jangan coba-coba intervensi proses hukum kasus perusakan dan pembakaran villa di Bugbug'. Ada pula spanduk yang bertuliskan 'Jangan pilih anggota DPD pemecah belah bangsa dan menghancurkan adat dan budaya Bali!!!'.
Warga Bugbug tidak dapat bertemu Wedakarna ketika itu. Staf Wedakarna dalam pertemuan menyebut bahwa AWK tengah melakukan tugas di luar Bali.
Pernah Dipolisikan gegara Ngaku Raja Majapahit
Pada 2020, kelompok masyarakat Bali yang tergabung dalam Puskor Hindunesia melaporkan AWK ke Polda Bali atas klaim sebagai Raja Majapahit Bali. Ketika itu, pelapor menyertakan bukti-bukti termasuk video pidato AWK yang disebut berisi klaim sebagai Raja Majapahit.
Berdasarkan arsip pemberitaan detikcom, AWK membantah dengan adanya pelaporan bahwa dirinya pernah mengaku sebagai Raja Majapahit Bali. "Saya tidak pernah kok mengklaim diri saya sebagai Raja Majapahit Bali," kata Wedakarna pada 21 Januari 2020.
Wedakarna menyebut gelar yang dimilikinya merupakan gelar dari masyarakat. AWK menilai dirinya adalah pengayom komunitas di Jawa dan Bali.
"Kalau orang memberikan gelar macam-macam itu ya biasa, itu namanya persahabatan ya kalau orang kasih gelar itu ya. Nggak apa-apa kan, saya juga pengayom dari banyak komunitas di Jawa dan Bali," kata Wedakarna ketika itu.
(Redaksi)