POLITIKAL.ID - Ahli hukum tata negara, Feri Amsari mengusulkan supaya jadwal kampanye calon presiden dan wakil presiden pada pemilu serentak kelak tidak digelar bersamaan dengan kampanye calon anggota DPR dan DPD.
Usulan Feri ini menyusul putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengharuskan pemilu presiden diselenggarakan bersama pemilu DPR dan DPD.
Menurut Feri, hal itu dapat menjawab kekhawatiran yang menyebut bahwa pemilihan anggota DPR dan DPD akan kurang mendapat perhatian publik jika digelar bersama pilpres.
"Problematika temen-temen di DPR itu kan begini, mereka merasa proses pemilu serentak itu membuat calon anggota DPR itu mati gaya ya kalau bahasa anak gaulnya, habis mereka dengan proses pemilu presiden itu," kata Feri kepada Kompas.com, Jumat (28/2/2020).
"Yang perlu mereka atur adalah bagaimana misalnya agar kampanye antara proses pemilu presiden dan kampanye pileg itu dibedakan harinya," kata dia lagi.
Menurut Feri, pemisahan jadwal kampanye mungkin saja dilakukan asalkan hari pemungutan suara diselenggarakan secara serentak di seluruh daerah, maka sebuah pemilu tetap dinyatakan serentak. Dengan begitu, hal itu tidak menjadi inkunstitusional.
Jika mekanisme itu diberlakukan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) bisa saja mendahulukan kampanye pileg, baru kemudian kampanye pilpres. Atau sebaliknya, kampanye pemilihan presiden dan wakil presiden digelar lebih dulu, menyusul kemudian kampanye pemilihan anggota DPR dan DPD.
Hal ini lebih potensial menarik perhatian pemilih pada pileg, lantaran kampanyenya digelar mendekati hari pemungutan suara.
"Kan alternatif-alternatif itu bisa dibicarakan sehingga tidak mengganggu konsep pemilu serentak, di mana hari coblos itu yang menentukan sifat keserentakan," ujar Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas itu.
"Jadi tidak akan repot kalau soal jadwal pengaturan kampanye, kan pembuat undang-undangnya adalah peserta ( pemilu legislatif)," katanya lagi.
Sebelumnya diberitakan, majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menyebutkan bahwa keserentakan pemilihan umum yang diatur di Undang-undang Pemilu dan UU Pilkada dimaknai sebagai pemilihan umum untuk memilih anggota perwakilan rakyat di tingkat pusat, yaitu presiden dan wakil presiden, DPR, serta DPD.
Artinya, ketiga pemilihan wakil rakyat itu tak bisa dipisahkan satu sama lain. Hal itu disampaikan majelis hakim saat sidang putusan uji materi tentang keserentakan pemilu yang diatur dalam Pasal 167 Ayat (3) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Pasal 201 Ayat (7) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang dimohonkan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
"Pelaksanaan pemilihan umum yang konstitusional adalah tidak lagi dengan memisahkan penyelenggaraan pemilihan umum anggota legislatif dengan pemilihan umum presiden dan wakil presiden," kata Hakim Saldi Isra saat membacakan putusan dalam persidangan yang digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (26/2/2020).
Atas putusannya, MK memberikan enam opsi model pelaksanaan pemilu. Seluruhnya, menggabungkan pemilu presiden, DPR, dan DPD. Sisanya, MK menyerahkan pada pembuat undang-undang. (*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Pengamat Usul Kampanye Pilpres dan Pileg Kelak Tak Digelar Bersamaan"