Ia juga mengatakan banjir yang semakin parah di Mahakam Ulu, yang di anggap sebagai dampak dari eksploitasi industri ekstraktif yang tidak terkendali.
"Industri ini tidak hanya merusak alam, tetapi juga memecah belah masyarakat. Pro-kontra antara mereka yang pro terhadap industri dan mereka yang menolak terus terjadi, menciptakan ketidakharmonisan di berbagai wilayah," tuturnya.
Ia juga mengungkapkan keprihatinannya terhadap masa depan Kalimantan Timur yang semakin sulit dipulihkan akibat kerusakan ekologis yang terus berlanjut.
Sementara itu, Yudhistira, Fajar Alam, pemerhati lingkungan dari UMKT, mengingatkan bahwa tambang terbuka yang marak diterapkan saat ini jauh lebih merusak dibandingkan dengan tambang dalam yang digunakan di masa lalu.
"Di masa lalu penambangan galian menggunakan metode tambang dalam yang dampaknya lebih kecil. Namun, dengan tambang terbuka, hampir seluruh lapisan tanah dan alam yang ada harus digali dan dihancurkan," jelasnya.
Menurutnya, kerusakan yang ditimbulkan oleh tambang terbuka sangat besar, dan jika reklamasi tidak dilaksanakan dengan benar, akan meninggalkan bekas kerusakan yang sangat sulit diperbaiki.
"Di Samarinda kita sudah lama menjadi kota tambang meskipun kita tidak menyadarinya. Kita sering tidak melihat dampak kerusakan yang terjadi akibat tambang ini," tuturnya.