POLITIKAL.ID - Amnesty International Indonesia menyatakan rancangan undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja yang diusulkan pemerintahan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) tidak sesuai dengan aturan hukum internasional.
Selain itu bermasalah secara substansi, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan RUU tersebut pun dalam pembahasannya minim transparansi.
"Perubahan ketentuan ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja tidak konsisten dengan kewajiban hukum internasional Indonesia karena dapat membuka ruang yang lebih luas untuk eksploitasi pekerja serta memangkas hak-hak pekerja," kata Usman kepada CNNIndonesia.com, Rabu (8/4).
Dalam sisi transparansi, Amnesty mengkritik pemerintah tidak memenuhi hak partisipasi publik, terutama kaum buruh, dalam perumusan RUU ini. Padahal Pasal 25 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Paragraf 5 Komentar Umum Nomor 25 Tahun 1996 telah menjamin hak warga negara untuk berpartisipasi dalam urusan publik.
Selain itu, pemerintah juga tidak menjalankan rekomendasi Organisasi Buruh Internasional (ILO) dalam beberapa konvensi tentang tripartit. ILO menegaskan pekerja punya hak untuk terlibat dalam konsultasi bersama pemerintah dan pengusaha.
Kemudian terkait substansi, Amnesty menyoroti empat hal dalam RUU ini. Pertama, terkait ketidakadilan dalam perumusan upah minimum pekerja yang tak sesuai Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR).
Amnesty mengkritik penghapusan upah minimum kabupaten/kota (UMK) yang berpotensi menimbulkan ketidakadilan. Mereka juga memprotes penentuan upah dengan mengacu kebutuhan hidup layak saat pekerja masih lajang.
"Ketentuan ini bertentangan dengan standar pengaturan upah minimum yang adil," tutur Usman.
Kemudian Amnesty juga memberi perhatian pada penghapusan batas maksimum Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Hal ini akan membuat para pekerja menjadi pegawai kontrak seumur hidup.
Ada pula penghapusan beberapa jenis cuti berbayar (paid leave). Amnesty menilai aturan itu tak sesuai Paragraf 45 Komentar Umum No. 23 tahun 2016 atas Pasal 7 ICESCR.
Selain itu, Pasal 77A RUU tersebut juga disoroti karena memperbolehkan pengusaha mempekerjakan karyawannya lebih dari 40 jam per minggu. Aturan itu bertentangan dengan Konvensi ILO No. 29 tahun 1930 tentang Kerja Paksa atau Wajib Kerja yang mengatur waktu kerja rata-rata 8 jam per hari.
Amnesty mendesak pemerintah membuka partisipasi publik dalam pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Mereka juga meminta penghapusan pasal-pasal bermasalah di atas.
"Presiden RI harus memastikan bahwa Peraturan Pemerintah yang mengatur hal-hal teknis terkait hak-hak pekerja sesuai dengan standar Hak Asasi Manusia internasional," ucap Usman.
Sebelumnya, RUU Omnibus Law Cipta Kerja telah mulai dibahas sejak Rapat Paripurna DPR RI pada Kamis (2/4). Aturan itu akan meringkas 1.244 pasal dari 79 undang-undang demi menarik investasi asing. Tapi, selain akibat substansi dan transparansi, rencana pembahasan RUU itu di tengah pandemi virus corona (Covid-19) itu pun dikritik kaum buruh. (*)
Artikel ini telah tayang di cnnindonesia.com dengan judul "Amnesty: Omnibus Law Cipta kerja Tak Sesuai Hukum Global"