POLITIKAL.ID, SAMARINDA - Pelaku pemerkosaan semakin berani melakukan tindakan jahatnya.
Rumah dan keluarga bisa menjadi pelindung setiap orang tak terkecuali perempuan hanya sebuah mitos.
Faktanya pemerkosaan itu terjadi, bahkan ayah lebih-lebih kandung seharusnya menjaga dan melindungi ternyata memberikan rasa trauma kepada korban yang tidak lain adalah anak kandungnya sendiri.
Parahnya lagi, tindakan tak terpuji itu dibela tanpa melihat korban dan kesalahan hukum yang dilakukan.
Warganet dihebohkan dengan beredarnya surat pengajuan penyelesaian hukum secara adat, atas kasus pemerkosaan anak kandung yang dilakukan R (44) selaku pimpinan salah satu Organisasi Masyarakat (Ormas) yang bermarkas di Samarinda.
Seperti diberitakan sebelumnya, R kini tengah ditahan Kepolisian Polresta Samarinda.
Setelah adanya laporan penganiayaan dan pemerkosaan terhadap --- sebut saja Dewi (18), yang tak lain merupakan anak kandung tersangka dari istri sirihnya.
Dalam isi surat sebanyak dua lembar yang diterima media ini, pengajuan hukum adat itu mencantumkan sederet sejumlah nama pimpinan ormas.
Yang menjadi sorotan, ada nama Walikota Samarinda Syaharie Jaang didalam isi surat itu kendati belum memberikan tandatangannya.
Surat pengajuan penyelesaian hukum secara adat ini mengatasnamakan sebagai Aliansi Ormas Daerah Kalimantan Timur.
Surat itu ditujukan kepada Kapolresta Samarinda dan diteruskan ke Wakapolresta serta Kasatreskrim.
"Kami pimpinan ormas Daerah/adat memohon kepada bapak Kapolres untuk bisa memfasilitasi untuk mempertemukan ayah dan anak, supaya permasalahan tersebut dapat diselesaikan secara kekeluargaan dan adat," dikutip dari isi surat bernomor 002/AORDA-KALTIM/VII/2020, Tertanggal 27 Juli 2020 tersebut.
Sebagai yang mengajukan dan menjamin kasus tersebut diselesaikan secara adat, sedikitnya ada 20 nama pimpinan ormas.
Namun yang sudah bertanda tangan baru 8 orang saja.
Dikonfirmasi, Kasatreskrim Polresta Samarinda Kompol Yuliansyah mengatakan, bahwa surat pengajuan dari Aliansi Ormas Daerah Kalimantan Timur itu belum sampai di meja para petinggi kepolisian di Mako Polresta Samarinda.
Kendati demikian, ia membenarkan telah menerima poto surat pengajuan hukum adat tersebut, setelah beredar disejumlah platform sosial media.
"Untuk surat yang beredar itu, saya tidak tahu. Memang tau, tapi surat itu belum ada masuk ke polres. Jadi saya ngga bisa kasih komentar lebih karena suratnya belum kita lihat," ungkapnya ketika dikonfirmasi Selasa siang (28/7/2020).
Mantan Kasat Reskrim Polres Kutai Timur itu mengaku belum mengetahui secara pasti, apakah surat pengajuan penyelesaian hukum secara adat tersebut dapat dikabulkan.
Yuliansyah menyebut bahwa harus ada koordinasi lebih lanjut dengan pimpinan beserta instansi terkait.
"Jadi tetap berkoordinasi dulu dengan pimpinan dan instansi-instansi terkait. Apakah hal tersebut bisa diterapkan atau tidak," terangnya.
"Kalau permohonan penangguhan itu ada, memang ada dari KUHAP. Itu sudah diatur ketika dari keluarga akan mengajukan permohonan penangguhan. Tapi kalau penyelesaian secara hukum adat mungkin itu hanya di internal keluarga," sambungnya.
Sementara itu Yuliansyah belum bisa berkomentar banyak terkait tersangka meski dapat sanksi adat. Namun polisi tetap memproses kasus tersebut.
"Saya belum bisa (pastikan) seperti itu ya. Saya juga harus terima surat dulu, kemudian saya akan berkoordinasi dengan pimpinan," imbuhnya.
Sejauh ini para pimpinan ormas tersebut belum ada yang berkomunikasi langsung dengan dirinya maupun pimpinan Polresta Samarinda.
"Sampai sekarang belum ada menghubungi. Kita tunggu aja lah. Sekarang yang berkomunikasi dengan saya hanya sebatas dari pengacara tersangka. Itu wajar dan biasa," katanya.
Kendati demikian, Yuli sapaan karibnya menegaskan bahwa sampai saat ini proses hukum tersangka pemerkosaan itu, tetap berjalan dikepolisian.
Polisi juga sudah menahan tersangka dan penyelidikan tetap berlangsung dengan barang bukti yang ada.
"Sampai sekarang, perkara tetap berjalan. Detik ini perkara pun masih tetap berjalan," tegasnya.
Terkait tersangka yang tidak mengakui perbuatanya meski adanya laporan korban dan disertai barang bukti.
Yuliansyah menyebut bahwa itu menjadi hak tersangka. Namun dalam hal ini penyidik tetap memiliki alat bukti cukup untuk dapat memproses tersangka.
"Penyidik itu independen dan memiliki alat bukti. Ya silahkan kalau tersangka merasa tidak bersalah, ya sampaikan ke kami apa bukti-buktinya kalau tersangka memang tidak bersalah," tandasnya.
Diberitakan sebelumnya, tersangka diancam penjara maksimal tujuh tahun. ( Redaksi Politikal - 001 )