POLITIKAL.ID - Direktur Eksekutif The Indonesian Institute (TII) Center for Public Policy Research Adinda Tenriangke Muchtar menilai, adanya ketidakjelasan komunikasi politik yang dilakukan pemerintah dalam menangani Covid-19. Hal itu sudah terlihat dari sikap pemerintah dalam penanganan Covid-19 sejak awal Maret 2020.
"Ada kendala penanganan wabah Covid-19 dari sisi pemerintah. Tidak hanya berawal dari keterlambatan merespons Covid-19, namun juga masalah komunikasi publik yang tidak jelas dan terkadang bertentangan satu sama lain," kata Adinda dalam siaran pers yang diterima SINDOnews, Senin (13/4/2020).
Salah satu bukti miskomunikasi itu jelas terlihat dari kebijakan dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 18 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi dalam rangka Pencegahan Penyebaran Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Menurut dia, isi Permenhub 18/2020 tersebut ambigu, khususnya tentang pembatasan penggunaan alat transportasi pribadi dan umum.
"Di satu sisi, di Pasal 11 Ayat 1 huruf (c) itu membatasi penggunaan kendaraan roda dua hanya untuk mengangkut barang. Namun di huruf (d) malah memungkinkan pengangkutan orang dengan protokol ketat," singgung dia.
Jika mencermati isi Permenhub, memang sebenarnya tidak ada pertentangan dengan Permenkes atau Pergub. Permenhub menegaskan bahwa angkutan sepeda motor berbasis aplikasi hanya dapat mengangkut barang. Ini diatur dalam Pasal 11 Ayat (1) huruf c.
Akan tetapi, Kemenhub justru kemudian menyatakan bahwa ojek daring (online) dapat mengangkut penumpang berdasarkan Pasal 11 Ayat (1) huruf d. Padahal, ayat itu hanya mengatur tentang ketentuan umum mengenai sepeda motor, dan tidak spesifik mengatur soal ojek daring.
Aturan itu menyebutkan bahwa "Dalam hal tertentu untuk tujuan melayani kepentingan masyarakat dan untuk kepentingan pribadi, sepeda motor dapat mengangkut penumpang dengan ketentuan harus memenuhi protokol kesehatan sebagai berikut: 1. aktivitas lain yang diperbolehkan selama Pembatasan Sosial Berskala Besar; 2. melakukan disinfeksi kendaraan dan perlengkapan sebelum dan setelah selesai digunakan; 3. menggunakan masker dan sarung tangan; dan 4. tidak berkendara jika sedang mengalami suhu badan di atas normal atau sakit."
Adinda menilai, hal itu sudah jelas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Menurut dia, Permenhub itu juga dianggap tidak sejalan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 dan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 9 Tahun 2020.
Tak hanya itu, regulasi Permenhub itu dianggap bertentangan dengan beberapa kebijakan daerah terkait pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang sudah diterapkan seperti di Provinsi DKI Jakarta dan sebagian Jawa Barat serta Banten.
"Pemerintah semestinya harus membenahi koordinasi lintas sektor dan memastikan kebijakan yang dihasilkan sinkron serta mendukung pelaksanaan PSBB," tandasnya. (*)
Artikel ini telah tayang di sindonews.com dengan judul "Permenhub 18/2020 Bukti Komunikasi Publik Pemerintah Bermasalah"