POLITIKAL.ID - Hingga kini belum ada nama yang disepakati sebagai bakal calon wakil presiden (cawapres) pendamping Anies Baswedan di Pemilu 2024.
Anies didukung oleh Koalisi Perubahan untuk Persatuan yang digagas Partai Nasdem, Partai Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) resmi terbentuk sejak akhir Maret lalu.
Kongsi tersebut sepakat mengusung mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sebagai bakal calon presiden (capres) Pemilu 2024.
Baru-baru ini peririhal cawapres berulang kali jadi persoalan di internal koalisi ini.
Beberapa waktu lalu, Demokrat dan PKS bersikukuh mengajukan kader masing-masing sebagai calon RI-2.
Sementara, Nasdem tak menyambut usulan keduanya lantaran ingin Anies didampingi figur di luar kader ketiga partai
Belakangan, Koalisi Perubahan tak sepakat soal waktu deklarasi cawapres. Demokrat lewat Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) partainya, Andi Arief, mengusulkan agar cawapres Anies diumumkan setidaknya Juni 2023.
Sebab, ia menduga, turunnya elektabilitas Anies sejak Juli 2022 menurut survei teranyar disebabkan karena cawapres yang tak kunjung dideklarasikan.
Dalam survei Indikator Politik Indonesia terbaru, elektabilitas Anies secara berturut-turut yakni 29,4 persen pada Juli 2022, lalu turun jadi 28,4 persen pada Oktober 2022, dan Januari 2023 kembali turun jadi 24,2 persen.
Besaran tersebut terus merosot pada Februari 2023 jadi 24 persen, lalu April 2023 jadi 22,2 persen, awal Mei 2023 jadi 21,8 persen, dan akhir Mei 2023 menjadi 18,9 persen.jQuery36008144483501998736_1686193299061
Dengan demikian, elektabilitas mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) itu terpaut jauh dari dua pesaingnya, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo di posisi kedua dengan elektabilitas 34,2 persen, dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto di urutan wahid dengan angka elektoral 38 persen.
“Kalau jarak sudah cukup menganga, pasangannya juga akan berat," ucap Andi saat dikonfirmasi, Senin (5/6/2023). Terkait ini, Nasdem tak sejalan dengan Demokrat.
Ketua DPP Partai Nasdem, Taufik Basari mengatakan, deklarasi cawapres untuk Anies tidak bisa dipatok waktu.
Dia mengatakan, pengumuman cawapres harus memperhatikan dinamika politik yang terus berubah dan dinamis belakangan ini.
"Kita dinamis saja. Namanya politik kan bisa tiba-tiba ada sesuatu hal yang harus segera, (atau) bisa saja jadi mundur. Kayak gitu kan dinamis lah, enggak bisa dipatok harus begini," kata Taufik di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (5/6/2023).
Satu suara dengan Nasdem, Juru Bicara (Jubir) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ahmad Mabruri menilai, turunnya elektabilitas Anies tidak ada kaitannya dengan deklarasi cawapres.
Dua nama pesaing Anies, Ganjar dan Prabowo, pun belum mendeklarasikan cawapres. Masing-masing internal partai masih melihat-lihat dan memperhitungkan agar tak salah langkah.?
"Calon lain belum ada cawapresnya bisa naik kok," ujar Mabruri saat dimintai konfirmasi, Senin (5/6/2023). Melihat ini, pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah Adi Prayitno menilai, Koalisi Perubahan terbilang rawan goyah. Menurut dia, ada tiga alasan yang membuat poros politik tersebut hingga kini belum kukuh.
Setengah hati
Pertama, dukungan Partai Demokrat ke Anies yang dinilai masih setengah hati.
Menurut Adi, Demokrat kerap tak sejalan dengan internal Koalisi Perubahan. Beberapa waktu lalu, partai berlambang bintang mercy itu bersikukuh mengajukan nama ketua umumnya, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai cawapres Anies. Terbaru, Demokrat mendesak cawapres Anies segera diumumkan.
“Koalisi Perubahan ini sepertinya setengah hati, terutama Demokrat yang sebenarnya masih menggantung nasib politiknya,” kata Adi kepada Kompas.com, Rabu (7/6/2023
Menurut Adi, Demokrat belum all out atau sepenuhnya memperjuangkan Anies sebagai capres. Ini salah satunya tampak dari minimnya spanduk dan baliho Demokrat yang mempromosikan mantan Gubernur DKI Jakarta itu sebagai calon RI-1.
Adi menduga, masih ada keraguan di internal Demokrat lantaran cawapres Anies belum juga diputuskan.
Sementara, Demokrat masih berharap AHY yang jadi calon RI-2.
“Demokrat itu tidak terlampau all out memperjuangkan Anies sebagai capres mungkin karena AHY tak kunjung diumumkan sebagai kandidat cawapres yang akan mendampingi Anies,” ujar Adi.
“Jadi ini yang kemudian bisa menjelaskan salah satu variabel bahwa poros perubahan itu belum sepenuhnya solid,” tuturnya.
Telat panas
Adi juga menilai, Koalisi Perubahan untuk Persatuan lambat dalam memanaskan mesin politik mereka menuju Pemilu 2024.
Pasalnya, kongsi tersebut tak serta merta menempatkan diri sebagai oposisi begitu meresmikan koalisi. “Ini telat panas. Mestinya sejak dideklarasikan maju pilpres, Anies dan poros perubahan itu sudah ngegas nyerang kubu Jokowi dan kubu pemerintah,” kata Adi.
Menurut Adi, Koalisi Perubahan baru terlihat “menyerang” pemerintahan Presiden Joko Widodo begitu Johnny G Plate, Sekretaris Jenderal Partai Nasdem saat itu, ditetapkan sebagai tersangka korupsi proyek BTS Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) baru-baru ini.
Mestinya, kata dia, Nasdem, Demokrat, dan PKS langsung menunjukkan taringnya ke pemerintah begitu mengumumkan Anies sebagai bakal capres pada Oktober 2022 lalu.
Adi menyebut, penting buat Koalisi Perubahan menegaskan posisi politik mereka yang berseberangan dengan pemerintah.
Apalagi, jika mereka hendak menyasar kelompok anti pemerintahan Jokowi.
“Bagaimana Koalisi Perubahan ini mengasolidasi kelompok-kelompok yang selama ini memang betul mau mencari perubahan. Makanya perlu positioning politik yang agak agresif dan matang yang mesti dikonsolidasi, dimatangkan oleh kubu perubahan,” ujarnya.
Bukan wajah oposisi
Faktor lainnya yang membuat Koalisi Perubahan rawan goyah, menurut Adi, sosok Anies yang tak cukup kuat merepresentasikan wajah kelompok oposisi.
Pasalnya, Anies hampir tak pernah terang-terangan menyerang, atau menyatakan dirinya berseberangan dengan pemerintahan Jokowi.
“Sosok Anies itu tidak terlampau mewakili wajah oposisi,” katanya.
Menurut Adi, Anies dianggap sebagai oposisi hanya karena berhadapan dengan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang pada Pilkada DKI 2017 diusung oleh PDI Perjuangan, partai penguasa.
Oleh karena polarisasi politik pada Pilkada DKI lalu begitu kental, maka, citra oposisi Anies masih melekat kuat hingga saat ini.
“Level ketokohan Anies ini sebenarnya tidak lebih dari sekedar residu dan euforia Pilkada DKI Jakarta 2017 yang lalu. Jadi kalau diangkat ke level nasional agak kurang ngangkat sebagai representasi dari wajah oposisi,” ujar Adi.
Atas situasi tersebut, Adi menilai, pada Pemilu Presiden 2024, Anies butuh sosok cawapres yang lebih kuat dalam merepresentasikan wajah oposisi.
Dari sejumlah nama, figur AHY dinilai cukup menjanjikan. Sebab, di bawah bendera besar Demokrat, AHY telah menempatkan diri sebagai oposisi sejak Jokowi memimpin pemerintahan 2014 lalu
Duet Anies-AHY pun diyakini bakal menarik kelompok oposisi atau yang selama ini kontra terhadap kebijakan pemerintahan.
“Karena jualan dari kubu perubahan ini adalah kelompok-kelompok yang kritis dan anti terhadap Jokowi, itu saja, bukan kubu-kubu yang lain,” tutur Adi.
Kendati demikian, Adi mengamini bahwa AHY masih minim pengalaman memimpin birokrasi.
Sebabnya, mantan periwra militer itu belum pernah mencicipi jabatan di pemerintahan maupun menjadi kepala daerah. Namun demikian, jika Koalisi Perubahan ingin menyasar kelompok anti Jokowi, AHY bisa jadi pilihan.
“Tapi minimal kalau ada AHY yang merupakan Ketua Umum Partai Demokrat, bisa melengkapi wajah oposisi Anies,” katanya.
(Redaksi)