POLITIKAL.ID, SAMARINDA - Pada proses pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), orang dengan gangguan kejiwaan pada dasarnya juga memiliki hak untuk memilih, namun tidak semua dapat menggunakannya, karena nanti dari dokter ahli kejiwaan yang dapat menentukan, memenuhi syarat atau tidaknya orang tersebut.
Penjelasan ini disampaikan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kalimantan Timur (Kaltim), Mukhasan Ajib.
Ia mengimbau masyarakat jangan sampai salah persepsi antara orang dengan gangguan kejiwaan dan orang gila.
Karena orang dengan gangguan kejiwaan itu belum tentu gila.
Menurutnya, orang dengan gangguan kejiwaan itu biasanya diakibatkan stress dan mengalami sakit dalam konteks rohani.
Stres itu pun memiliki beberapa kategori, dari ringan hingga berat.
"Sehingga tidak semua orang yang sedang mengalami gangguan kejiwaan itu dapat memilih," kata Ajib, Sabtu (17/10/2020).
Salah satu kriteria yang menentukan dapat atau tidaknya memilih yaitu ketika orang tersebut masih dapat menggunakan nalar, sedangkan untuk yang parah gangguan kejiwaannya dipastikan tidak dapat memilih.
"Misalnya saya jadi caleg dan kalah, menjadi stres kemudian direkomendasikan untuk kerumah sakit jiwa, kalau sakit ringan bisa mencoblos, kalau berat ya ga bisa. Nanti dokter yang tentukan," ucapnya.
Pelaksanaan pencoblosannya juga nanti dari Tempat Pemungutan Suara (TPS) terdekat yang diarahkan untuk melayani pasien dengan membawa kotak suara beserta surat suara sesuai dengan data pasien yang memiliki hak memilih.
"Jadi sebelumnya sudah didata duluan, dan mereka (pasien, Red) masuk dalam kategori Daftar Pemilih Tambahan (DPTB)," ungkapnya.
Sedangkan untuk orang gila yang sering berkeliaran di jalanan tanpa mengenakan pakaian itu, dikatakan Ajib tidak dapat menggunakan hak suaranya, karena masuk dalam kategori parah.
"Jadi perlu diperhatikan bahwa gangguan kejiwaan itu belum tentu orang gila," tutupnya. (*)