POLITIKAL.ID - Tewasnya jenderal penting di tubuh satuan elite Garda Revolusi Iran, Qassem Soleimani, telah memanaskan suhu politik global. Ancaman perang di kawasan Timur Tengah disebut-sebut sebagai ongkos mahal yang mesti diterima rezim Trump.
Pembunuhan Soleimani didasari anggapan bahwa sang jenderal terlibat dalam serangkaian aksi terorisme yang, menurut Trump, sudah menewaskan banyak warga AS. Menghabisi Soleimani, pendek kata, adalah langkah (realistis) agar teror berhenti.
Namun, di saat bersamaan, kebijakan Trump membunuh Soleimani juga dapat dibaca sebagai upaya untuk meningkatkan elektabilitas menjelang Pilpres 2020, November mendatang. Ia ingin publik memberikan simpati dan dukungan di tengah citranya yang kadung ambyar dengan sederet skandal yang berujung pada pemakzulan (impeachment).
Dunia politik AS menyebutnya rally ‘round the flag effect.
View this post on Instagram
Bagaimana Munculnya? Konsep rally ‘round the flag effect pertama kali muncul dalam balada “Battle Cry of Freedom” karya George Fredrick Root pada 1862, atau saat Perang Sipil Amerika meletus.
Lambat laun, ungkapan itu dipakai dalam studi politik dan hubungan internasional untuk memperlihatkan relasi antar popularitas presiden AS dan peristiwa internasional tertentu. Richard Neustadt dan Kenneth Waltz merupakan dua ilmuwan yang pertama kali memperkenalkan konsep tersebut ke publik.
Adalah John Mueller yang kemudian menggali lebih jauh konsep rally ‘round the flag effect. Pemikirannya dituangkan ke dalam buku berjudul War, Presidents, and Public Opinion yang dirilis pada 1973.
Lewat bukunya, Mueller menerangkan bahwa rally ‘round the flag effect merupakan bagian dari variabel independen penentu popularitas presiden. Dalam definisi Mueller, rally ‘round the flag effect memuat tiga kriteria: peristiwa yang bersifat global, melibatkan AS dan presiden secara langsung, serta berefek dramatis.
Penelitian Mueller memperlihatkan peristiwa internasional tertentu, yang melibatkan partisipasi pemerintah AS, biasanya berbanding lurus dengan melonjaknya popularitas presiden. Alasannya, Mueller bilang, masyarakat AS tak ingin menyaksikan negaranya gagal di tingkat internasional. Selain itu, peristiwa internasional juga dapat menjadi medium bagi presiden untuk mempertontonkan patriotismenya kepada khalayak.
Tapi, aksi presiden bukan faktor tunggal yang menentukan keberhasilan rally ‘round the flag effect. Dalam “The Rally ‘Round the Flag Effect: A Look at Former President George W. Bush and Current President Barack Obama” (PDF, 2013), Jocelyn Norman menerangkan bahwa persepsi publik turut pula dipengaruhi oleh media, elite, dan retorika politik.