Jumat, 17 Mei 2024

Kepentingan Pengusaha Diduga Lebih Dominan di Produk Legislator Dibanding Publik

Jumat, 12 Agustus 2022 20:58

IST

POLITIKAL.ID, SAMARINDA - Fakultas Hukum (FH) Universitas Mulawarman (Unmul) Program Sarjana (S1) Hukum menggelar diskusi Autocratic Legalism hari Jum'at (12/8/2022) siang. Diskusi bertema Siapa Dalang Dibalik UU Kontroversial ? Moderator diskusi, Alfian SH MH membuka mukadimah diskusi dengan peryataan teoritikus hukum terkemuka, yaitu suatu norma hukum negara adalah berlapis dan berjenjang serta berlaku norma yang lebih tinggi. Kebebasan berekspresi dan berpendapat menurutnya cenderung sudah tidak ada. Hal itu menjadi sebuah ironi baik sosial dan politik saat ini. "UU ITE kerap mematahkan kebebasan berekspresi itu sendiri dan menuai kontroversi di masyarakat," sebut Alfian dosen lulusan Unhas Makassar saat membuka diskusi. Kendati begitu, Pemerintah mengeluarkan surat kerja bersama (skb) sebagai pedoman guna mencover segala hal yang mengandung kontroversial. Lain halnya dengan pasal lain yang memiliki jerat pasal serupa lebih parahnya, para pembuat peraturan menabrak norma - norma terlebih partisipasi elemen masyarakat. Alfian kembali mengutip pernyataan dari Plato yang berbunyi idealnya seorang pemimpin dan tata hukumnya yang berlaku, sebagain banyaknya mesti memuat suatu hal yang baik hati bukan yang mengarah pada kezoliman. "Kekuasaan mesti memberikan kepercayaan kepada masyarakat dari jurang otoritarian," tambah Alfian. "Sebagai pembuat peraturan. Harusnya legislator mencari solusi kesejahteraan, bukan ketertundukan buta," sambungnya. Setelah pengantar diskusi ia sampaikan kepada peserta secara offline yang mayoritas mahasiswanya, dan streming youtube untuk umum. Alfian mempersilahkan nara sumber (narsum) Bivitri Susanti SH L.L.M Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera Jakarta memaparkan isi materi diskusinya. Sebagai informasi, Bivitri Susanti adalah akademisi tata hukum negara dan pendiri Sekolah Hukum Jentera. Ia memulai diskusi dengan narasi besar sejak masa reformasi digaungkan yaitu supremasi hukum. Cara pandang yang begitu ketat dari kacamata hukum. Memulai pendiskusian dengan wacana kritis kekinian. Hukum menurutnya tidaklah netral, dan setiap lembaga ada orang yang memiliki kepentingan pribadi bahkan posisinya ditunjuk partai politik (parpol) di lembaga - lembaga yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak. Mesti dilihat secara mendalam peran para suksesor terlebih UU Cipta Kerja, seperti siapa yang yang mengusulkan, siapa yang diuntungkan ketika diterapkan. Secara awam masyarakat bisa menilai siapa elit politik tersebut. Disisi lain, konsep trias politika Menteqeu yang digunakan sistem politik Indonesia saat ini, juga tidak membuat distribusi kekayaan atau kesejahteran negara mengalir adil ke semua lini masyarakat. "Tugas utama negara kepada masyarakat adalah menyelesaikan jurang antara si miskin dan kaya," kata Bivitri saat diwawancarai seusai diskusi. Kecendrungan pemerintah saat ini menjalankan kebijakan dengan tangan besi, terbukti dengan munculnya perlawanan masyarakat tertindas diberbagai daerah. Sebab rakyat tidak mengambil peran untuk menentukan dirinya sendiri melainkan kepentingan minoritas atau pembisnis. "Rakyat harus masuk ke wilayah politik, jangan alergi dengan politik. Dibangun dan perbesar peluang politik rakyatnya. Sudah saatnya rakyat berkonsolidasi masuk ke sistem politik dan mengambil kendali," paparnya. Ditanya soal UU Cipta Kerja atau Omnibuslaw. Omnibuslaw hanya akan mengulang kembali lembaran penghisapan negara kepada rakyat. Pemerintah memberikan karpet merah untuk pengusaha. Seharusnya 11 kluster tidak dimuat dalam satu aturan bernama Undang Undang Cipta Kerja nomor 11 Tahun 2020. "Saya pernah usulkan ke pemerintah tapi ditolak. Harusnya 11 kluster itu dijadikan 11 Undang Undang saja biar tidak gemuk di UU Cipta Kerja," ungkapnya. Dengan begitu saat menetapkan kebijakan tidak instan dan meminimalisir konflik seperti perburuhan dan agraria. Kendati batas koreksi untuk pemerintah selesai pada 25 November 2023 menurut MK. "Makanya menurut saya cabut saja dulu UU Cipta Kerja itu," tegasnya. Bahkan oligarki juga menyusup pada RUU-KUHAP untuk memuluskan agenda pengusaha untuk memenjarakan rakyat yang dituding mengganggu atas nama stabilitas dan ketertiban masyarakat. September paling lambat akhir tahun akan disahkan. Masih ada waktu melakukan koreksi pada rancangan UU tersebut. "Kita mesti memasukan hal baik melalui konsultasi publik," tutupnya mengakhiri. (001)
Tag berita:
Berita terkait