POLITIKAL.ID - Memasuki hari pergantian tahun, para akademisi yang tergabung dalam Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademi (KIKA) merilis sejumlah catatan penting. Tentunya terkait refleksi kebebasan para akademisi di seluruh nusantara.
Pada rilis tertulis yang diterima media ini, KIKA menyebut kalau pernyataan dari Mendiktisaintek Satryo Soemantri Brodjonegoro patut diapresiasi.
“Jadi semua tergantung dari pimpinan perguruan tingginya. Kami berikan pada mereka keleluasaan dan kebebasan secara akademik. Tapi saya minta pada mereka, Bapak-Ibu Rektor tolong jaga dengan baik, karena kebebasan itu harus di barengi dengan akuntabilitas tanggung jawab pada publik”
Satryo Soemantri Brodjonegoro, Mendiktisaintek, 28 Oktober 2024.
Pernyataan Mendiktisaintek dinilai tepat. Patut diapresiasi. Sekalipun demikian realitasnya perlu dilihat bagaimana situasi yang terjadi di Indonesia sepanjang tahun 2024. Sebab menjelang Pilpres 2024, terjadi peristiwa sangat memalukan. Rezim Jokowi meminjam ‘mulut rektor’ untuk mengapresiasi dirinya dengan menyatakan soal keberhasilan program dan kebijakan rezim. Setidaknya ada 4 elit kampus yang membuat video apresiasi tersebut, yakni
1. Rektor Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Ahmad Sodik;
2. Rektor Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Jebul Suroso;
3. Wakil Rektor II Universitas Muhammadiyah Semarang (Unimus), Hardi Winoto;
4. Rektor Universitas Diponegoro (Undip), Yos Johan Utama
Peristiwa ini merefleksi ancaman betapa rezim otoriter memaksakan kehendaknya untuk melegitimasi diri dan kebijakannya dengan pelumas intelektualisme.
Kendali kekuasaan atas kampus sudah sedemikian primitif terjadi di Indonesia. Belum lagi, bagaimana dengan situasi terpilihnya Prabowo-Gibran sebagai Presiden dan Wakil Presiden untuk periode 5 tahun kedepan.
Selubung militerisme akan kuat membayangi politik kekuasaan, dan secara langsung maupun tidak bertahap akan mempengaruhi dunia pendidikan tinggi. Ini artinya, selama itu pula akan ada banyak tantangan yang sangat berat dalam mengimplementasikan kebijakan pendidikan tinggi yang berkualitas dan berkeadilan, menciptakan ekosistem keilmuan. Masalah mendasar ini tidak akan pernah selesai bila secara paradigmatik, pola relasi pemerintah dan perguruan tinggi maupun komunitas ilmuwan tidak pernah dihormati kedudukannya.
KIKA meyakini, bahwa sumber pembentengan kebebasan akademik adalah penghargaan yang tinggi atas dunia ilmuwan, dunia pendidikan tinggi dan risetnya. Bilamana politik anti sains kuat melandasi kebijakan negara, maka sesungguhnya, sepanjang itu pula kerusakan sains dan dampak negatifnya akan besar terjadi dilapangan, baik mengancam lingkungan, pula peradaban kemanusiaan. Hal mendasar lainnya adalah sejauh mana kebijakan pemerintahan baru berkaitan dengan restrukturisasi (memecah) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) di bawah Kabinet Merah Putih menjadi tiga kementerian baru, yakni: Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemen Dikdasmen), Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendikti-Saintek), serta Kementerian Kebudayaan. Kebijakan ini sudah hampir pasti akan disusul dengan kebijakan-kebijakan lain di sektor tata Kelola Pendidikan tinggi di Indonesia. Pada lain pihak, pemerintah juga harus berhadapan dengan mafia pengurusan-perolehan jabatan akademik guru besar atau jabatan fungsional lainnya, perilaku koruptif pengelola perguruan tinggi yang berkelindan dengan keberpihakan cenderung buta pula menundukkan diri terhadap penguasa.
Sementara itu, khususnya untuk perguruan tinggi negeri, pemerintah (cq. Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi atau Kemendiktisaintek), secara de jure, masih memiliki dan menguasai 35% hak suara dalam pemilihan dan penentuan pimpinan universitas atau Rektor, serta sangat digdaya dalam penempatan birokrat, anggota partai politik dll, sebagai anggota wali amanat. Sebaliknya kontrol dan kendali atas perguruan tinggi swasta dilakukan dengan berbagai cara lain, antara lain melalui regulasi perihal akreditasi. Untuk keduanya, PTN dan PTS selanjutnya dibebankan target-target atau capaian-capaian yang tidak kerap kali dalam praktiknya justru kontraproduktif.
Misalnya terkait dengan penelitian dan pengabdian masyarakat yang dikaitkan dengan publikasi di jurnal terindeks scopus. Singkat kata, pembirokratisasian pengelolaan perguruan tinggi terus menguat dan yang dikorbankan adalah ikhtiar membangun suasana akademis di mana civitas academica dapat menikmati ruang kebebasan untuk berkarya (pengajaran, pendidikan, pengabdian masyarakat) dan turut berpartisipasi secara aktif dalam mengembangkan kebijakan pembangunan dan turut mengawasinya.
Untuk itu kebebasan akademis menjadi prasyarat dan justru kebebasan itulah yang terancam ketika civitas academica (dosen-mahasiswa) dikekang dengan segala macam tuntutan. Secara konkrit, nalar kritis civitas academica ditumpulkan ketika kemerdekaan yang seharusnya diberikan padanya justru dikendalikan, dikekang atau
diam-diam diberangus.
KIKA sepanjang 2024 mencermati bahwa ancaman terhadap kebebasan akademik terkait berkelindan dengan persoalan-persoalan lain, mulai dari perdebatan perihal kenaikan pembayaran UKT, joki jurnal ilmiah hingga penganugerahan gelar guru besar kepada tokoh politik, aparat penegak hukum dan pejabat lainnya sampai dengan ketidakadilan yang muncul akibat kebijakan pemerintah maupun pembangunan.
Sepanjang 2024, KIKA mendampingi berbagai kasus pelanggaran kebebasan akademik. Terdata 27 jenis kasus yang didampingi dan menjadi perhatian oleh KIKA. Berdasarkan kasus tersebut, Dosen, mahasiswa, kelompok masyarakat sipil menjadi korban pelanggaran kebebasan akademik.
Dari jenis kasus yang ditangani, KIKA mencatat ada 5 bentuk pelanggaran kebebasan akademik.