Layangkan Gugatan ke MK, Gatot Nurmantyo dan Petinggi Gerindra Minta Ambang Batas Pencalonan Presiden 20 Persen Dihapus
Rabu, 15 Desember 2021 13:18
Gatot Nurmantyo. Foto/Dok SINDOnews
POLITIKAL.ID - Mantan Panglima TNI Jenderal Purn. Gatot Nurmantyo mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dia meminta ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) diubah dari 20 persen menjadi nol persen. Selain Gatot, gugatan ambang batas pencalonan presiden lewat uji materi UU Pemilu ke MK juga diajukan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Ferry Juliantono dan Anggota DPD Bustami Zainudin. Ketiga pemohon itu sama-sama menunjuk Refly Harun sebagai kuasa hukumnya. Bahkan ketiganya menunjuk kuasa hukum yang sama yaitu Refly Harun. Dalam perkara bernomor 63/PUU/PAN.MK/AP3/12/2021, Gatot meminta Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan pasal 222 UU Pemilu. Ia menilai pasal tersebut tidak sesuai dengan UUD 1945. "Menyatakan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," ucap Gatot dalam petitum dilansir dari cnnindonesia.com. Dua penggugat lainnya Ferry dan Bustami juga menuliskan perkara yang senada. Gatot berdalih presidential threshold merugikan pemilih. Hal itu bukan tanpa alasan banyak kandidat terbaik baik bangsa yang justru terhalang ambang batas pencalonan. Bukan hanya itu Gato juga menilai ambang batas pencalonan berpotensi terjadinya politik transaksional. Sementara penggugat lainnya, Ferry memiliki pandangan bahwa aturan tersebut membuat jabatan presiden hanya bisa diakses oleh oligarki. Adapun Bustami mengatakan rakyat berhak untuk mendapatkan banyak kandidat calon presiden di pemilu 2024. Untuk diketahui, pasal 222 UU Pemilu yang mengatur ambang batas pencalonan presiden kerap kali di gugat ke Mahkamah Konstitusi. Sejak disahkan 2017 setidaknya ada 13 gugatan terhadap pasal tersebut. Namun belum ada satu pun gugatan yang dikabulkan Mahkamah Konstitusi. (*)
Berita terkait