Rabu, 8 Mei 2024

Mahasiswa dan Ketua Komisi IV DPRD Samarinda Satu Suara RUU PKS Segera Disahkan

Sabtu, 11 Desember 2021 0:8

IST

POLITIKAL.ID, SAMARINDA - Peringatan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP) jatuh pada Jum'at (10/12/2021) hari ini dimulai dari 25 November pekan lalu. Sekira 70 aktivis mahasiswa turun ke jalan menyampaikan aspirasi dan sekelumit persoalan kekerasan, serta pelecehan yang menimpa perempuan. Sebagai informasi, pada awalnya 16 HAKTP merupakan kampanye internasional untuk mendorong upaya – upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia. Aktivitas ini sendiri pertama kali digagas Women’s Global Leadership Institute pada tahun 1991 yang disponsori Center for Women’s Global Leadership. Kampanye tersebut menjadi mandat langsung yang menjadi visi Komnas Perempuan, dalam membangun solidaritas. Jum'at siang hari ini, kalangan aktivis mahasiswa/i turun ke jalan di depan pintu gerbang utama kampus Unmul, Samarinda. Massa yang tergabung dalam Aliansi Samarinda Lawan Kekerasan Seksual (ASLKS) menyuarakan pengesahan RUU PKS menjadi UU dengan segera. Salah satu unsur aliansi dari Kepala Departemen Gender, Himpunan mahasiswa sosiologi (Himapsos) Fisip Unmul, Rica Zarima dijumpai di lokasi mengatakan, kekerasan terhadap perempuan adalah pelanggaran hak asasi manusia. Untuk memastikan RUU PKS diketahui masyarakat, selain aksi turun ke jalan, diskusi rutin juga dilakukan diawali di lingkungan penguruan tinggi. "Kami tidak setuju RUU PKS menjadi P PKS. Menempatkan permasalahan kekerasan dan pelecehan perempuan hanya sebatas pendekatan hukum pidana saja," bebernya. Hal senada dikatakan, Ketua Komisi IV DPRD Samarinda, Sri Puji Astuti. Menurut Sri sapaannya itu, dengan meningkatnya aksi kejahatan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak perlu dibuat. "Saya sangat setuju dengan RUU PKS untuk dijadikan UU sebagai pijakan atau aturan payung hukum yang dipakai aparat untuk mengantisipasi dan memberikan perlindungan terhadap korban, kelompok masyarakat yang rentan dan sering menjadi objek kekerasan( perempuan,anak dan disabilitas, red )," tuturnya. Lanjut dia, masyarakat baik itu mahasiswa, organisasi perempuan, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan akademisi harus menyuarakan dan bersatu. "Dengan UU melalui aparat, negara hadir untuk melindungi seluruh warganya. Hal ini bukan saja untuk melindungi korban kekerasan seksual tapi juga melindungi hak asasi manusia sedunia harkat dan martabatnya tanpa diskriminasi," terangnya.
Tag berita:
Berita terkait