Minggu, 19 Mei 2024

Perjuangan Kartini yang Belum Tuntas

Selasa, 21 April 2020 2:9

IST

POLITIKAL.ID, SAMARINDA - Tepat tanggal 21 April setiap tahunnya kita selalu memperingati Hari Kartini.

Dimana pada hari ini mengingatkan kita pada perjuangan Raden Adjeng Kartini dan pejuang perempuan lainnya dalam memperjuangkan emansipasi perempuan dari zaman Hindia Belanda hingga saat ini.

Siapa sih R.A Kartini ? Kartini merupakan pahlawan perempuan beliau lahir tanggal 21 April 1879 di kota Jepara.

Ia lahir dari keluarga bangsawan. Ayahnya bernama R.M. Sosrodiningrat merupakan orang yang terpandang sebab posisinya sebagai Bupati Jepara.

Sedangkan Ibunya yang bernama M.A. Ngasirah, beliau ini merupakan anak seorang kiai atau guru agama di Telukawur, Kota Jepara.

Awal perjuangan Kartini itu dimulai sejak ia berusia 12 tahun. Ia dilarang melanjutkan studinya setelah sebelumnya bersekolah di Europese Lagere School (ELS) dimana ia bisa belajar bahasa Belanda, dari sinilah yang menyulut hati Kartini untuk memperjuangkan hak wanita di Indonesia.

Kartini mulai menulis beberapa surat-surat agar bisa membebaskan kaum wanita. Surat-surat yang kartini tulis lebih banyak berupa keluhan-keluhan mengenai kondisi wanita pribumi dimana ia melihat contoh kebudayaan jawa yang ketika itu lebih banyak menghambat kemajuan dari perempuan pribumi.

Ia juga mengungkapkan dalam surat-suratnya bahwa ada banyak kendala yang dihadapi perempuan pribumi khususnya di Jawa agar bisa lebih maju.

Kartini menuliskan penderitaan perempuan di jawa seperti harus dipingit, tidak bebas dalam menuntut ilmu atau belajar, serta adanya adat yang mengekang kebebasan perempuan.

Selain itu, tulisan-tulisan Kartini juga berisi tentang makna Ketuhanan, Kebijaksanaan, Keindahan, kemanusiaan dan juga Nasionalisme.

Namun dengan kondisi pada saat itu, perjuangan Kartini selalu dikerdilkan dalam memperjuangkan hak kaum perempuan. Nasionalisme yang digagasnya pun masih sangat konseptual dan tercerai-berai dalam tiap pucuk surat sehingga sulit diterjemahkan ke dalam dunia pergerakan.

Meskipun banyak yang menentang usahanya, Kartini tidak pernah patah semangat dalam memperjuangan hak perempuan itu hingga membuahkan hasil yang dapat kita rasakan hingga saat ini yakni, persamaan hak antara kaum prempuan dan laki – laki dalam menunut ilmu pendidikan.

Kita patut bersyukur dengan adanya perjuangan Kartini agar kita tidak lagi merasakan perbedaan antara kaum laki-laki dan kaum perempuan, seperti mendapatkan keadilan yang layak mulai dari pendidikan, kesehatan, hingga pekerjaaan.

Tetapi bagaimana dengan kasus diskriminasi terhadap kaum perempuan?
Seperti yang sekarang kita lihat diskrimansi terhadap kaum perempuan dari dulu hingga sekarang masih ada.

Oleh karena itu peringatan Hari Kartini harus rutin dilakukan untuk menyadarkan publik agar tidak bertindak semena-mena terhadap kaum perempuan, mengingat kasus diskriminasi dari tahun ke tahun selalu ada bahkan selalu meningkat tiap tahunnya.

Bahkan di zaman sekarang muncul aturan-aturan yang membatasi ruang gerak kaum perempuan.

Adapun dulu kasus diskriminasi terhadap kaum perempuan terjadi pada seorang buruh wanita yang bernama Marsinah.

Marsinah adalah seorang buruh yang memperjuangkan haknya karena di anggap tidak adil. Marsinah adalah buruh PT Catur Putera Surya (CPS), pabrik arloji di Siring, Porong, Jawa Timur yang digaji Rp1.700 per bulan.

Padahal berdasarkan KepMen 50/1992, diatur bahwa UMR Jawa Timur ialah Rp2.250. Pemprov Surabaya meneruskan aturan itu dalam bentuk Surat Edaran Gubernur KDH Tingkat I, Jawa Timur, 50/1992, isinya meminta agar para pengusaha menaikkan gaji buruh 20 persen. Namun kebanyakan pengusaha menolak aturan tersebut, termasuk PT CPS.

Bianto, rekan Marsinah, menuturkan manajemen PT CPS hanya mau mengakomodasi kenaikan upah dalam tunjangan, bukan upah pokok. Permasalahannya, jika buruh tak masuk kerja karena alasan sakit atau melahirkan, tunjangannya akan dipotong.

Dari sini kita melihat betapa mirisnya kaum perempuan tidak mendapat keadilan yang layak. Selain kasus Marsinah masih banyak kasus lain yang mendiskriminasi kaum perempuan.

Komnas Perempuan mencatat pada 2014 terdapat 4.475 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak 2015 sebanyak 6.499 kasus, 2016 sebanyak 5.785 kasus dan pada 2017 tercatat ada 2.979 kasus kekerasan seksual di ranah KDRT atau relasi personal serta sebanyak 2.670 kasus di ranah publik atau komunitas.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Damayanti mengatakan masih banyak kasus kekerasan seksual terhadap perempuan pada tahun 2019.

Masih banyaknya kasus kekerasan seksual sebagaimana tercantum dalam catatan tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan Tahun 2019 yang mencatat sebanyak 2.988 kasus atau 31% dari kasus terhadap perempuan yang dilaporkan kata Bintang saat di Hotel Sahid Jaya, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat, Kamis (19/12/2019).

Salah satu contoh kasus terbaru, diskriminasi terhadap pekerja perempuan terjadi di PT Alpen Food Industry dimana sampai saat ini telah terjadi 21 kasus keguguran akibat buruh yang hamil, tetap di suruh bekerja sesuai dengan shift jam kerja yang telah ditentukan perusahaan untuk mencapai target produksi dengan kondisi lingkungan kerja yang kurang kondusif, dan sehat untuk kesehatan buruh perempuan hamil.

Buruh perempuan yang bermaksud untuk meminta cuti haid karena merasakan sakit diharuskan diperiksa di klinik terlebih dahulu dari dokter perusahaan dan hanya diberikan obat pereda nyeri.

Bahkan, permohonan izin cuti biasanya tidak diberikan pihak perusahaan dari beberapa kasus yang telah terjadi, hingga saat ini perlindungan terhadap kaum buruh perempuan masih sangat terbilang lemah.

Perempuan masih saja tenaganya di eksploitasi tanpa adanya perbaikan dan perlindungan terhadap perempuan.

Belum lagi dengan adanya rancangan undang-undang cipta kerja yang di dalamnya semakin tidak menjamin adanya hak Perlindungan terhadap buruh perempuan.

Jikalau dalam UU Ketenagakerjaan tahun 2003 pekerja perempuan yang tidak masuk kerja karena cuti haid tetap wajib dibayarkan upahnya, maka dalam draf Omnibus Law cipta kerja hak itu tidak disebutkan secara eksplisit.

Dengan kondisi seperti itu, sudah sepantasnya kaum perempuan harus tetap memperjuangkan hak-hak yang belum terpenuhi agar kedepannya tidak adalagi diskriminasi terhadap kaum perempuan.

Seperti dalam pidato pendiri bangsa kita (Bung Karno) Bangkitlah perempuan itu, ikut sertalah dalam perjuangan karena tanpa perempuan bagai sayap garuda yang terpaku dibumi.

Semoga peringatan Hari Kartini menyadarkan laki-laki dan perempuan sama-sama berjuang untuk generasi penerus yang lebih baik dan juga tidak ada lagi aturan atau pandangan yang merendahkan kaum perempuan.

Merdeka !!!

*Penulis adalah Sekretaris komisariat GMNI FEB UNMUL, Sarinah Maida.

(Redaksi Politikal - 001)

Tag berita:
Berita terkait