POLITIKAL.ID - Penundaan pembahasan soal ketenagakerjaan dalam Omnibus Law Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker) diapresiasi banyak pihak.
Langkah itu dinilai akan mengurangi beban psikis buruh sehingga tidak waswas lagi mengenai nasibnya jika rancangan undang-undang (RUU) itu disahkan.
Polemik dan protes serikat pekerja, akademisi, dan masyarakat mengiringi upaya pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membahas Omnibus Law tersebut.
Klaster ketenagakerjaan dinilai memiliki banyak masalah, terutama mengenai pengupahan, nasib pekerja outsourcing dan kontrak.
“Klaster ketenagakerjaan butuh masukan banyak pihak, terutama dari berbagai organisasi buruh, akademisi, pelaku usaha, dan tentunya komunitas masyarakat. Proses menjaring aspirasi ini tidak akan mungkin maksimal di tengah pandemi Covid-19 yang sangat membatasi ruang gerak masyarakat,” tutur anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Fahira Idris, di Jakarta, Sabtu (25/04/2020).
Dia mengungkapkan pembahasan RUU yang dianggap kontroversi itu harus membuka ruang seluas-luasnya bagi publik untuk berpartipasi. Mereka perlu diajak berdiskusi dan mengikuti proses penyusunan dan pembahasan secara transparan.