Satu Tahanan Omnibuslaw Samarinda Hirup Udara Bebas, Kisahkan Pengalaman di Penjara, Ingin Tuntaskan Studi di Kampus dan Lanjutkan Perjuangan
Jumat, 23 April 2021 1:42
IST
POLITIKAL.ID, SAMARINDA - Wisnu Juliansyah alias WJ menghirup udara bebas (20/4/2021) kemarin. Wisnu adalah satu dari ribuan mahasiswa yang berdemonstrasi di depan gerbang utama gedung Dewan Perwakilan Rakyat Derah (DPRD) provinsi Kalimantan Timur. Sebagaimana empat aksi sebelumnya, demontrasi itu berakhir dengan kericuhan. Berdiri tidak jauh dari gerbang, Wisnu melihat puluhan mahasiswa terjatuh karena gas air mata dan derasnya siraman truk water cannon kepolisian. Kamis 5 November 2020 silam, pukul 17.00 Wita, tidak terima melihat teman-temannya terluka. Spontan, Wisnu dan puluhan lainnya melawan. Mereka mengambil apa saja yang berserak di jalan. Mulai dari batu dan botol minuman. Wisnu melempar sebuah batu, batu melambung tinggi ke arah truk water cannon yang terletak di balik gerbang yang tertutup, persisnya disebelah kanan gerbang. Setelah melempar batu, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman (Unmul) itu membalikkan badan dan berlari ke arah sebuah kios minuman. Nahas, seorang pria bertopi sontak memiting leher dan meninju perutnya. Dia sempat melawan, namun apa daya. Wisnu dikepung puluhan orang lainnya. “Mungkin ada sekitar 20 (orang), semua kurang lebih berpakaian preman. Aku masih mengingat sakitnya tendangan di bagian kepala. Telingaku sampai berdegung,” ujar Wisnu berkisah, Rabu (21/4). Salah seorang pria kemudian menyeret Wisnu yang terbaring. Membawanya ke sebuah mobil minibus yang terletak di depan Gedung A DPRD Kaltim. Disana, dia didudukkan bersama dua orang lainnya. Salah satunya, Firman, mahasiswa salah satu kampus Samarinda Seberang yang dituduh membawa senjata tajam. Ketika langit sudah gelap. Ketiganya dibawa ke taman yang terletak didepan Gedung Paripurna. Di dekat sebuah tenda berkelir hijau, Wisnu didudukkan bersama 12 orang mahasiswa lain yang tertangkap. Dari kesaksiannya 10 orang mahasiswa diplontos rambutnya dan dihukum push up. Sementara dua lainnya, tidak disentuh sama sekali. “Dua orang itu katanya anggota Pers Kampus,” sambungnya. Sekitar pukul 19.00, Sembilan orang dibawa ke kantor kepolisian yang terletak di dekat Jembatan Mahakam, sisanya disuruh pulang. Mereka didudukkan di depan kantor untuk diperiksa. Disuruh melakukan tes urin dan Rapid Test. Nama dan profil lengkap mereka ditanya, sementara barang pribadi mereka juga diambil, dijadikan sebagai barang bukti. “Dimintai barang bukti tapi saya tidak bawa apa-apa, cuma pakaian yang aku pakai dan jam tangan saja. Akhirnya jadi barang bukti jam tangan itu” ucapnya. Setelah selesai diperiksa, kesembilannya diinstruksikan untuk membersihkan diri di salah satu toilet yang terletak di gedung utama. Mereka disuruh berbaris dan masuk satu per satu dikawal dua orang aparat berseragam. Disinilah, bogem mentah kembali diterima di bagian belakang kepala. “Dipukul sampai terjedot kaca, kalau untuk teman-teman lainnya saya tidak tau apakah dapat perlakuan yang sama,” ungkapnya. Usai membersihkan diri, mereka diarahkan kembali ke depan kantor polisi. Ketika hasil tes keluar, salah seorang petugas mengatakan hasil Rapid Testnya reaktif. Dia kemudian disuruh memisahkan diri dari barisan, dipinggirkan ke ujung dudukan polisi sendirian. Saat duduk, beberapa orang berpakaian preman kemudian berjalan ke hadapannya. Mereka menunjukan video yang memperlihatkan pelemparan batu yang dilakukannya. Salah seorang kemudian terpancing emosinya, dan hendak memukul Wisnu. Tetapi dihalangi seorang. Wisnu kemudian dibawa ke salah satu kantor yang terletak di lantai dua gedung belakang. Rapid test kedua dilakukan. Hasilnya non-reaktif. Ucup lalu diarahkan untuk menjalani Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Saat hendak diperiksa. Dia mengatakan salah seorang penyidik sontak menendang kursi yang didudukinya. “Selesai kamu, nakal-nakal kamu,” ucapnya menirukan ucapan sang pria. Meskipun demikian, saat diperiksa, Wisnu mengaku enggan memberikan keterangan. “Karena ketika ditanya saya bilang tunggu Lembaga Bantuan Hukum, mereka juga tidak memeriksa,” imbuhnya. Tapi ketika LBH datang, gambaran kasar BAP ternyata sudah selesai. Kedua orang tersebut ternyata mengetik berkas pemeriksaan ketika dia ditanya. “Ada beberapa yang kurevisi, baru kutanda tangan setelah didampingi pengacara,” jelasnya. Petugas tersebut kemudian mengatakan bahwa Wisnu berstatus saksi. Dia disuruh bermalam di kantor tersebut. Menunggu proses lanjutan esok hari. Malam itu, Wisnu mengaku tidak bisa tidur tenang. Badannya sakit dan kedinginan. “Apalagi rahang, nyut-nyutan, jadi bisa dibilang tidak nyaman lah,” ungkapnya. Jumat, 6 November 2020 lalu, status Wisnu dan satu orang lagi, Firman, dinaikkan menjadi tersangka. Mereka dibariskan di salah satu ruangan di lantai tiga, menghadiri rilis pers kepolisian. Ucup mengingat hanya dirinya dan Firman yang dibariskan di bagian belakang. Sementara tujuh orang lainnya dibariskan di depan. Sebelum mengetahui bahwa ia ditetapkan sebagai tersangka. Ucup mengaku perasaan buruk memang sudah menghantuinya. “Kayaknya masuk ini, aduh,” ungkapnya. Setelah konferensi, tujuh orang tersebut disuruh pulang. Sementara dia dan Firman disuruh masuk ke kantor tempatnya bermalam. Rapid Test dilakukan lagi, hasilnya reaktif. Dia disuruh masuk ke salah satu sel di kantor yang membidangi persoalan narkotika untuk diisolasi. Sementara Firman, disuruh masuk ke sel umum tahanan. “Tiga hari satu malam lamanya, cuma membawa pakaian aja,” bebernya. Di sel berukuran 1 x 1,5meter itulah ucup tinggal sendirian. Untuk membunuh rasa bosan, dia mengobrol dengan tahanan tetangga. Dia bertukar cerita mengenai kasus, pengalaman dan lain sebagainya. Makanan selalu diberi dua hari sekali, yakni siang dan sore. Pada saat malam terakhir, dia mengaku tidak diberi makan. Salah satu office boy yang biasa mengantar makanan menyuruhnya meminta bekal milik tetangga, entah apa alasannya. “Disuruh minta makan sama tetangganya sebelah, untungnya tetangga habis dikunjungi. Jadi saling berbagi,” kisahnya. Pengalaman Hidup di Penjara Rabu, 10 November 2020, menjadi kali pertama Wisnu masuk penjara seumur hidupnya. Dia dipindah ke sel yang terletak di lantai pertama di salah satu gedung disana. Pertama kali masuk sel, dia diospek atau diminta memperkenalkan diri oleh sesama narapidana. Nama, kasus, dan alamatnya pun disebutkannya. Wisnu juga disuruh pula push up, totalnya 10 kali. Semua sesuai perintah “Pak Rt”. “Pak Rt ini adalah panggilan buat kepala tahanan yang dipilih berdasarkan musyawarah. Orangnya tinggi besar, dia itu narapidana kasus pembunuhan. Tapi dia baik, dia minta maaf sehabis menyuruhku push up. Kata dia, itu disuruh orang “depan” (meja penjagaan),” kisahnya. Wisnu mengatakan total ada sekitar 150 orang yang berada di sel kepolisian. Mereka hidup dalam tiga blok terpisah yakni I sampai III. Pertama kali masuk, dia bermukim di Blok I. Blok tempatnya adalah yang paling besar, Isinya 80 orang. Sementara dua blok lainnya, diisi masing-masing 21 dan 29 orang. Rata-rata yang tinggal di Blok I adalah kasus kriminal, sementara blok sisanya kasus narkotika. Dia mengatakan perlakuan terhadap tahanan baru merupakan hal yang pasti ada di penjara. Tahanan baru dilihat berdasarkan jenis kasusnya. Kasus yang paling dibenci adalah kasus pencabulan. Dia mengatakan Pelaku dipastikan ditindas dalam penjara. “Karena kan menyakiti orang yang lemah, istilah didalam itu perkens,” sambungnya Meskipun demikian, Wisnu mengaku tidak dibenci didalam. Sebab, kasusnya tergolong “Istimewa”. Mayoritas tahanan bersimpati terhadapnya. Ucup dilihat sebagai korban, bukan pelaku kejahatan. Julukan kasusnya, “settingan”. Membeli makanan dan kebutuhan dasar sendiri didapatkan dari dunia luar. Julukannya, “loadingan”. Satu kotak rokok apapun mereknya, ucap Ucup. Dihargai RP 50 ribu didalam penjara. “Jadi Rp 5 ribu sebatang,” ungkapnya. Setelah 11 hari di blok I, kepada Pak Rt, dia meminta dipindah ke blok II. Alasannya, dia ingin bersama Firman untuk saling menguatkan. Kehidupan di sel, ucapnya, tidak dipungkiri membuatnya stress. Meskipun demikian, dia mencoba ikhlas “Mental Breakdown itu pasti apalagi awal-awal. Tapi aku selalu coba bilang, kita tidak sendiri, ada kawan-kawan lain di luar, man (panggilan firman), kita tidak perlu takut kalau memang benar,” ucapnya Firman dan Wisnu pun semakin dekat didalam sel. Mereka saling bercerita dan berbagi pengalaman hidup seperti persoalan kasus yang menimpa. Untuk berkomunikasi dengan dunia luar, dia mengatakan ada satu cara. Meskipun dia menolak untuk mengisahkan detailnya. Dia mengaku bersyukur masih bisa berhubungan dengan teman-teman mahasiswa, khususnya keluarga. “Alhamdulilah (teman-teman) bisa menguatkan mental lah, keluarga juga tidak pernah menyalahkan apa yang terjadi. Aku cuma diminta tetap kuat,” imbuhnya. Mahalnya Sebuah Kebebasan Wisnu hidup di kantor polisi sejak pelaksanaan sidang pertama hingga sidang ketiga. Persisnya dari 6 November 2020 hingga Februari 2021. Pada pertengahan Februari dia pindah ke Rumah Tahanan Kelas IIA yang terletak di daerah Sempaja. Disanalah dia mengaku bisa sedikit merasa bebas. “Jujur, tidak nyaman, bahkan pada saat pelaksanaan sidang,” bebernya Di kantor polisi, tidak ada yang bisa dilihatnya. Mulai dari sinar matahari, hingga rintik hujan. Satu pun tidak pernah dia rasakan. Hanya di lapas lah kebebasan bisa sedikit dirasakan. “Kamu pernah enggak senang melihat tetesan air hujan menyentuh tanganmu, itu sudah yang aku rasakan disana, sebegitu mahalnya ternyata,” ungkapnya. Wisnu mengatakan penjara mengajarinya banyak hal. Meskipun demikian, dia mengaku tidak menyesal. Penjara, ucapnya, adalah konsekuensi dari mereka yang berani bersuara. Meskipun selama didalam, dia memang selalu memikirkan satu hal. “Aku pengen bebas,” ucapnya. Wisnu mengaku langsung sujud syukur ketika menginjakkan kaki diluar pintu Rutan. Dia langsung mendatangi salah satu warung sembako yang terletak persis didepan Rutan. Menukar satu kotak rokok disana. “Kalau bebas murni katanya dapat satu kotak gratis, merk apa aja,” ucap Ucup terkekeh. Kedepan, dia mengaku akan mengurus kuliah yang tertinggal. Kuliahnya saat ini dicutikan oleh salah seorang teman. Senada, salah satu sumber yang tidak ingin disebutkan menyatakan nasib kuliah Wisnu juga sudah dikondisikan. Wisnu mengaku akan akan tetap menempuh jalur aktivis. Menurutnya, penjara malah memberi alasan agar dia semakin semangat berjuang. Jeruji besi, sebutnya, adalah miniatur kecil kehidupan, yang terjadi di dunia nyata tidak separah yang ada di dalam penjara. Upaya penolakan terhadap Omnibus Law, sebutnya, sepadan dengan masa tahanan dijalaninya. “Worth It,” ucapnya singkat mengakhiri pembicaraan. Ditetapkan Bersalah pada Rabu, 4 April 2021, Wisnu divonis majelis hakim penjara 5 bulan 15 hari. Dia dianggap terbukti menyerang salah seorang polisi, melanggar pasal 351 Ayat 1 KUHP tentang penganiayaan. Batu yang dilemparnya disebut mengenai pelipis kanan mata seorang petugas. Meskipun demikian, Majelis Hakim memutuskan memvonis lebih ringan dari tuntutan jaksa yakni tujuh bulan, karena pertimbangan penyelesaian skripsi. Akan tetapi, Kuasa hukum Wisnu, Indra dari LBH Persatuan mengatakan kliennya tidak bersalah. Dia mengatakan bukan hanya Wisnu yang melakukan pelemparan. “Itukan spontanitas massa, tapi kenapa cuma dia yang ditangkap ?” ungkap Indra. Disisi lain Indra mengatakan terjadi ketidaksesuaian keterangan dari saksi korban yang notabene adalah anggota kepolisian. Dari total empat saksi, ada dua yang keterangannya bertentangan. Saksi korban mengatakan bukan cuma Ucup yang melakukan pelemparan. Sementara, dua orang saksi lain mengatakan dua saksi lain mengatakan hanya Wisnu yang melempar batu. “Ini kontradiktif,” ucapnya. Saksi dari pihak terdakwa pun, sebutnya, satu suara, Mereka mengatakan bukan cuma Wisnu yang melakukan pelemparan. Batu yang mengenai korban pun tidak pernah ditemukan. Satu-satunya petunjuk adalah video yang menunjukan peragaan Wisnu saat melakukan pelemparan. “Sehingga tidak bisa dibuktikan apakah memang batu tersebut betul mengenai korban. Diuji sidik jarinya dan sebagainya, itu juga tidak pernah dilakukan, kita tidak bisa memastikan, jangan-jangan batu itu dilemparkan orang lain?” tegasnya. Karena telah menjalani hampir seluruh masa tahanan sejak 5 November. Indra mengatakan Wisnu hanya ditahan selama 5 hari sejak sidang putusan. Persisnya pada Selasa, 20 April 2021. Dia dinyatakan bebas murni dari penjara. Sementara itu sebelumnya, terkait adanya kekerasan kepada tahanan omnibuslaw, Kapolresta Samarinda, Kombespol Arif Budiman menyebutkan bekerja sesuai aturan dan membantah hal tersebut. "Tidak, itu benar," terangnya medio November 2020 lalu. (*)
Berita terkait