POLITIKAL.ID - Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pilkada dinilai bersifat ambigu. Sebab, Perppu itu satu sisi menyatakan pelaksanaan pilkada serentak mundur dari 27 September menjadi 9 Desember 2020. Namun, di sisi lain disebut manakala tidak dapat dilaksanakan pada bulan Desember, dapat ditunda dan dijadwalkan kembali.
"Alih-alih menunjukkan sikap antisipatif, aturan itu menyiratkan ketidakyakinan pemerintah bahwa semua tahapan penyelenggaraan dapat disiapkan dalam waktu singkat," ujar anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) dari Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) Abraham Liyanto dalam keterangan tertulisnya, Senin (11/5/2020).
Selain itu, dari isi Perppu tersebut, dia menilai terlihat jelas pemerintah belum mampu memastikan kapan penyebaran wabah virus corona atau Covid-19 berakhir. Akibatnya, pilkada ditetapkan tanpa kepastian lantaran bergantung pada penyebaran Covid-19.
"Perppu itu memang mengandung kepastian berupa empat tahapan yang ditunda KPU bisa dilaksanakan kembali. Tetapi ketidakpastian muncul karena digantungkan pada kondisi Covid-19," kata anggota Komite I DPD ini.
Dia berpendapat, pemerintah terlalu memaksakan diri menjadwalkan pemungutan suara Pilkada 2020 pada bulan Desember. Sehingga, kesan yang muncul adalah tahapan pilkada seolah hanya mencakup persoalan pemungutan suara.
Padahal, kata dia, jika pemungutan suara dilaksanakan pada Desember, tahapan Pilkada 2020 yang saat ini ditunda, walaupun dimulai kembali selambat-lambatnya pada bulan Juni 2020. Sebelum tahapan dimulai kembali, pada bulan Mei ini, KPU dan Bawaslu, serta stakeholder pemilu lainnya sudah bersiap kembali untuk melanjutkan tahapan pilkada.
Hampir semua tahapan pilkada merupakan kegiatan yang mengundang interaksi banyak orang dan kegiatan yang dilaksanakan di luar rumah. Aktivitas-aktivitas itu dinilai bertentangan dengan upaya menekan angka penyebaran Covid-19.