Pengamat dari Universitas Pamulang (Unpam) Sonny Majid turut mengomentari pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani yang menyebut tak berlaku l...
POLITIKAL.ID - Pengamat dari Universitas Pamulang (Unpam) Sonny Majid turut mengomentari pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani yang menyebut tak berlaku lagi teori ekonomi, yang dipelajari di bangku kuliah.
Berikut pernyataan lengkap Sonny Majid yang telah terbit di POSTULAT dengan judul " Menkeu Sri Mulyani bilang tak berlaku lagi teori ekonomi, padahal AS diduga kembali pakai sistem Merkantilisme, benarkah?
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani pernah mengatakan bahwa kondisi perekonomian bangsa-bangsa hari ini menunjukkan bahwa teori-teori ekonomi yang dipelajari di bangku kuliah tidak berlaku lagi, pertanyaannya kemudian apakah benar demikian?
Pernyataan Menkeu tersebut merespon penerapan tarif impor barang-barang dari negara-negara mitra Amerika Serikat (AS) yang diterbitkan Presiden Donald Trump.
Apa yang dilakukan oleh Trump sebenarnya pernah diberlakukan saat AS mengalami “big” depresi ekonomi sekitar 1930-an.
Terang saja penerapan tarif impor tersebut sangat berdampak pada perdagangan internasional yang selama ini masih dominan menggunakan jalur laut.
Sebenarnya saya sempat berkhayal, agar Presiden Prabowo Subianto tidak melakukan negosiasi, tapi adalah bagaimana memberanikan diri memboikot jalur perdagangan yang melalui Selat Malaka, atau kalau berani melabrak sekalian saja mengenakan tarif jika kapal-kapal dagang AS melewati Selat Malaka, namun rasanya sulit dilakukan.
Karena di selat tersebut melintas kapal-kapal (armada) angkatan laut AS, musabab selat Malaka menjadi rute internasional.
Jika melihat secara subjektivitas menurut pandangan saya atas strategi dagang Trump, apakah mungkin selama ini AS justru menghancurkan sendiri cengkraman ekonominya selama ini (dengan neoliberalisme-nya), apakah Trump sebodoh itu? Sepertinya gak mungkin. Sementara kita tahu neoliberalisme selalu berkaitan dengan neokolonialisme
“Yang penting tembak saja dulu. Sambil nunggu siapa nih yang melawan, nego, remuk dan lain-lain,” demikian rekan saya menuturkan.
Pasca-pengumuman Trump itu eklis dollar kita langsung sempat melemah di kisaran Rp16.800 bahkan sempat Rp17.000/dollar.
Dilalah, gak lama kemudian ramai berita harga emas naik berkali lipat, emas Antam pun juga naik. Rentetan kejadian ini akhirnya saya curigai, jangan-jangan AS ingin kembali menerapkan/mengubah pola pendekatan ekonominya yang dulu pasar bebas berbasis neoliberalisme, menggunakan Merkantilisme, sebuah sistem ekonomi untuk meningkatkan kekayaan sebuah negara/bangsa yang diatur oleh pemerintahnya.
Bisa jadi Trump ingin mengambil alih dominasi negara mengatur perekonomian, dari para pihak swasta (pemodal/korporasi) yang sudah terlalu lama diberi ruang dengan tumpuan neoliberalisme atau pasar bebas. Gampangnya, Trump tetap menerapkan kepitalisme, tapi bukan berbasis korporasi/pemodal lagi, melainkan negara.
Sebenarnya, sistem tersebut (merkantilisme) pernah diterapkan oleh negara-negara di Eropa di abad 16 sampai 18, seperti Spanyol, Prancis, Italia, Portugal, Belanda, Jerman bahkan Prancis. Kala itu negara-negara tersebut sistem kenegaraannya adalah kerajaan. Penganut merkantilisme memercayai, bahwa ukuran kemakmuran adalah jumlah kepemilikan atas logam mulia (emas dan perak).
Dalam konteks kekinian, logam mulia tersebut menjadi komoditi perdagangan internasional. Lihat saja bagaimana emas kita dikeruk habis-habisan di pegunungan Cartenz provinsi Papua. Apakah kita sendiri sudah “menimbun” emas di Papua, entahlah.
Dalam teori ekonomi, biasanya kalangan merkantilisme mendesain agar kegiatan impor tidak terlalu dominan, alias sedikit sekali, sebaliknya menguatkan ekspor. Teori Merkantilisme sendiri berasal dari bahasa “Merchan” yang artinya pedagang.
Jadi artinya, AS tetap pedagang, China pedagang, sementara kita, Indonesia masih menjadi market place. Jangan terkecoh lah dengan para pedagang itu. (*)