POLITIKAL.ID - Jusuf Hamka menagih pemerintah untuk membayar utang sebesar Rp 800 miliar kepadamya, menurutnya anak buah bendahara negara menghalangi untuk utang tersebut tidak dibayarkan.
Atas hal tersebut, Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo membantah tudingan Jusuf Hamka.
Prastowo mengatakan terkait utang pemerintah kepada Jusuf Hamka atau Babah Alun telah disampaikan dengan jelas ke Sri Mulyani.
"Menurut kami tidak benar. Semua dikoordinasikan dan dikomunikasikan dengan baik kepada pimpinan. Arahan pimpinan juga clear sebagai pedoman," katanya dikutip dari CNNIndonesia.com, Jumat (9/6).
Sebelumnya, Babah Alun mengaku sudah pernah bertemu dengan sang Bendahara Negara. Ia bahkan telah menyampaikan berkas-berkas terkait utang pemerintah tersebut.
Namun, pemerintah tak kunjung membayar hingga saat ini.
"Padahal sudah pernah ketemu, sudah saya kasih berkasnya. Selalu bilang gitu, belum dipelajari, ngelesnya begitu mulu. Pusing saya," katanya.
"Makanya saya rasa Bu Sri Mulyani mau bayar, tapi di bawah ini banyak yang ganjel-ganjel," lanjutnya.
Babah Alun mengatakan yang menghalangi adalah Hadiyanto, mantan kepala biro hukum Kementerian Keuangan. Hadiyanto disebut memberikan masukan salah ke Sri Mulyani.
"Hadiyanto yang ganjel, yang kasih masukan gak bener ke Sri Mulyani. Dia sudah berhenti kan sekarang di Kemenkeu. Saya uber dia, pak gimana bapak sudah saya teken, tapi enggak mau akui," katanya.
Jusuf Hamka mengatakan sebenarnya utang pemerintah kepadanya bukan Rp800 miliar, melainkan Rp1,25 triliun jika merujuk hitungan Mahkamah Agung (MA).
Ia menyebut perkara utang bermula dari uang deposito perusahaannya, PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk (CMNP), di Bank Yakin Makmur alias Yama, sebesar Rp78 miliar dan Rp79 miliar.
Namun, ketika krisis moneter 1998 semuanya dilikuidasi. Apes, uang deposito Jusuf tak dicairkan sampai sekarang karena tuduhan CMNP terafiliasi dengan pemilik Bank Yama, yakni Siti Hardijanti Hastuti Soeharto alias Tutut Soeharto.
Ia lantas mencari keadilan hingga memenangkan gugatan di MA pada 2015. Jusuf menyebut putusan MA mengharuskan pemerintah membayar deposito miliknya beserta denda setiap bulannya sebesar 2 persen.
"Denda MA 2 persen per bulan. Dari 1998 ke 2023 kan 25 tahun, 25 tahun kali 12 bulan kan 300 bulan, kali 2 persen, sama dengan 600 persen. Kalau pokoknya Rp179 miliar yang diakui. Jadi totalnya 6 kali bunganya ditambah 1 kali pokoknya. Jadi 7 kali Rp179 miliar, ya Rp1,25 triliun," katanya.
(Redaksi)