UU Cipta Kerja Digugat Serikat Buruh, Ketua Komisi 4 ; Pemerintah Bisa Gunakan UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003
Sabtu, 13 November 2021 23:12
IST
POLITIKAL.ID, SAMARINDA - Kalangan buruh secara nasional salah satunya sedang mengusung tuntutan Upah Minimum Kota Sektoral (UMKS) untuk tahun 2022. Selain menuntut kenaikan upah UMP/UMK sebesar 7 sampai 11 persen. Sebagian gabungan konfederasi buruh di Indonesia meminta pemerintah mencabut UU Cipta Kerja nomor 11 tahun 2021. Untuk di Samarinda, gelombang penolakan UU Cipta Kerja juga dilakukan dan dipusatkan, di kantor DPRD Kaltim. Unsur yang terlibat itu adalah serikat buruh dan mahasiswa. Upaya terakhir yang dilakukan buruh adalah menggugat UU Omnibuslaw melalui Judisial Review (JR) di Mahkamah Konstitusi. Selain itu, setiap tahunnya penetapan upah dilakukan dengan lembaga tripartit (pemerintah-buruh-pengusaha). Namun pandemi Covid 19 kurang dua tahun belakang membuat UMK tidak dapat ditetapkan. Ditengah kondisi ekonomi buruh yang ikut cekak tersebut. Kenaikan UMK menjadi angin segar bagi buruh dan keluarganya. Memanggapi hal itu, Ketua Komisi IV DPRD Samarinda, Sri Puji Astuti mengatakan upah umum lebih tepat digunakan dibanding UMSK. "Penetapan upah dengan UMK lebih tepat digunakan," kata Puji sapaannya, Minggu (14/11/2021). Ditanya terkait dengan kesepakatan besaran UMK, politisi partai Demokrat itu berharap unsur tripartit dapat membahas dalam satu meja. Sebab disebutnya wakil rakyat, tidak dapat terlibat dalam proses mekanisme penetapan tersebut. Kendati begitu, penetapan dapat segera dilakukan mengingat tahun 2022 harga kebutuhan sandang, pangan dan papan mengalami kenaikan. Dengan begitu, kenaikan upah dapat mempertahankan daya beli khususnya buruh. Untuk itu komisi IV meminta pemerintah melakukan implemetasi UU Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 terkait penetapan UMK dari pemkot dibantu dewan pengupahan sebagai pemberi saran. "Kami sebatas dilaporkan saja kalau sudah ada kesepakatan UMK," terangnya. (Adv/*)
Berita terkait