Jumat, 17 Mei 2024

Cita-Cita Kartini Seperti Nyala Api yang Tak Pernah Padam

Rabu, 22 April 2020 4:33

IST

POLITIKAL.ID, SAMARINDA - Kesetaraan menjadi agenda perjuangan terlebih kaum perempuan hingga saat ini.

Kemajuan kesadaran untuk memperoleh kesetaraan dalam masyarakat era moderen saat ini tak terlepas dari kegigihan perempuan sebagai warga negara yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam berbangsa dan bernegara.

Hari Kartini yang jatuh pada tanggak 21 April setiap tahunnya selalu diperingati sebagai lahirnya gagasan emansipasi. Pun begitu, sosok Kartini di Indonesia telah mengilhami perempuan tanah air untuk mengejar mimpi yang lebih tinggi tak sebatas kerja domestik yakni mengurus suami, anak dan dapur.

Dikonfirmasi melalui sambungan telepon aplikasi whatsapp, Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian menyampaikan pandangannya tentang kiprah perempuan indonesia saat ini sudah sesuai dengan cita-cita para pejuang yang telah dilanjutkan perempuan disemua bidang.

"Perjuangan Kartini dan yang lain tak akan pernah padam, terbukti kan dengan kiprah perempuan juga bisa memberikan kemajuan untuk bangsa, negara dan lingkungan masyarakat sekitar," ujar Hetifah sapaannya, Senin malam (20/4/2020).

Menurutnya juga banyak Ibu Rumah Tangga (IRT) berhasil dan hebat mendidik anak-anaknya.
Bahkan di ajang internasional, perempuan indonesia diakui kiprahnya dengan prestasi gemilang.

Hal itu tidak bisa dilepaskan dengan kesempatan saat ini yang telah terbuka luas. Terpenting, perempuan Indonesia bisa mewujudkan mimpi-mimpi dan sudah semestinya sarana dan prasaranya wajib difasilitasi.

"Dengan talenta yang dimiliki dan cita-cita yang ingin diperjuangkan, perempuan mesti diberikan kesempatan," imbuhnya.

Lebih lanjut kata anggota DPR RI dari fraksi partai Golongan Karya (Golkar) itu, kendati sebagian kecil perempuan telah berhasil dan mengharumkan nama bangsa, sebagian besar lain menurutnya masih diadang masalah spesifik perempuan dan harus tetap diperjuangkan.

Masalah yang dihadapi perempuan itu adalah kekerasan, perbedaan upah yang berbeda dengan laki-laki padahal jenis kerjanya dan waktu bekerjanya sama.
Lalu masalah lainnya adalah angka kematian ibu dan bayi yang masih tinggi.

"Masalah itu segera harus diselesaikan, artinya keterwakilan perempuan di politik menjadi penting dalam membuat kebijakan, nantinya kebijakan yang dibuat lebih sensitif kepada kentingan perempuan, dalam aspek kesehatan, pendidikan dan ekonomi supaya ada kesetaraan. Itu juga kan yang diperjuangkan kartini," ulas wakil rakyat daerah pilihan (dapil) Kaltim itu menerangkan.

Pembuktian Eksistensi Menghancurkan Stigma Negatif

Ditanya soal masih ada stigma negatif yang memandang remeh kapasitas perempuan di ranah publik, dirinya tak menampik hal tersebut.

Budaya masyarakat yang menganggap perempuan hanya pantas bekerja domestik atau rumah tangga memang diakuinya masih kuat, padahal menurutnya hal itu bisa dilakukan ketika perempuan dan laki-laki berbagi peran serta berbagi tugas bersama.

Kendati budaya itu sesuatu yang bisa diubah, namun tidaklah mudah lantaran kultur awalnya telah bersifat menetap sejak lama.

Jadi cara yang tepat menurut alumnus lulusan ITB Bandung itu yaitu bagi perempuan yang telah berhasil, harus membukakan pintu menolong atau membantu sekitar sesuai kemampuannya agar perempuan lainya bisa lebih banyak lagi menjadi rule model atau percontohan.

"Dengan semakin banyak yang berhasil, maka keragu-raguan terhadap kiprah perempuan bisa hilang," terangnya.

Perempuan yang juga lulusan pasca sarjana (S2) Kebijakan Publik Universitas Nasional Singapura itu memberikan contoh, perempuan yang sebelumnya tak mengurus masalah ekonomi dan keuangan Indonesia ternyata sekarang ada dan itu disebutnya piawai. Lalu untuk urusan diplomasi luar negeri juga tak kalah moncer, berikutnya DPR RI Komisi bidang Keamanan dan Hankam juga ada perempuan, bahkan Ketua DPR RI saat ini adalah perempuan.
Akan terus dipercaya menjalankan tugas, jika semuanya berjalan baik.

Ia tak menampik, diawal masyarakat ada yang menganggap remeh, namun lama-lama telah mengakui kiprah perempuan yang tidak bisa dipandang sebelah mata.
Dengan kepemimpinan perempuan mulai banyak yang bagus semisal Wali Kota Surabaya, Risma atau Gubernur Jatim Khofifah yang menunjukkan perempuan bisa memimpin daerah.

"Jadi yang dipikir perempuan itu tidak bisa memimpin daerah, sekarang udah biasa kan. Jadi memang harus ada terobosan," tuturnya.

Berbagi Peran Dalam Rumah Tangga

Dengan tetap tidak menepiskan sesuatu yang alamiah dalam raga perempuan, perempuan masih memiliki kesempatan maju disemua aspek dan tidak meninggalkan perananya dalam lingkungan masyarakat dan perempuan yang telah berkeluarga.

Edukasi terlebih urusan domestik atau dapur serta merawat anak sudah menjadi kultur yang biasa bagi anak muda saat ini.

Pembagian kerja yang setara sesuai dengan kesepakatan dari masing-masing pasangan adalah kebiasaan yang mesti dibangun dengan kominikasi sebagai kuncinya.
Kultur itu tidak dapat berangkat dari satu pihak, namun keduanya mesti saling mendukung.

"harus ada dukungan dari laki-laki, semoga kedepan kesetaraan dan keadilan bisa terwujud," ucapnya.

Dengan memanfaatkan teknologi, dalam keluarga masih tetap bisa berkomunikasi.
Jangan sampai urusan domestik. mengungkung potensi besar perempuan bisa berkiprah dan berkontribusi lebih besar untuk masyarakat.

Perlunya Payung Hukum (UU PKS) untuk Perempuan Dari Ancaman Pelecehan serta Kekerasan Fisik dan Psycis serta Seksual

Seharusnya tidak menunggu Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) menjadi undang-undang, dalam penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan dan pelecehan.

Menurutnya Indonesia punya aturan lain dari mulai perlindungan perempuan dan anak serta kekerasan domestik dan seksual dalam rumah tangga termasuk kitab KUHP.
Namun menurut lulusan Doktoral (S3) Politik dan Hubungan Internasional, Universitas Flinders, Adelaide, Australia itu kalau RUU PKS disahkan, perempuan bisa jauh lebih terlindungi lagi.

Hukuman bagi pelaku bisa dipertegas dan diperberat jika RUU PKS disahkan, harapannya dapat menurunkan angka pelecehan seksual dan kekerasan.

Bahkan menurutnya selama ini bukan hanya UU saja mesti didorong bersama, namun juga penegakan hukum serta kultur semisal mengajarkan anak-anak laki-laki agar tak merendahkan perempuan baik fisik dan psikis juga kekerasan.

Karena menjadi kewajiban pemerintah melindungi semua warga dari kekerasan dan meredahkan derajat manusia baik perempuan, anak anak maupun laki laki.

Sebenarnya sudah ada aturan agar perempuan mendapat keadilan, namun yang terpenting dalam lingkungan terdekat, mulai dari pendidikan mesti mengamalkan hal itu.

"Setuju dengan pengesahan RUU PKS itu ya karena bisa menurunkan tingginya angka pelecehan seksual dan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia," ungkapnya.

Miskonsepsi antara pencegahan dan menurunkan angka pelecehan dan kekerasan

Pembahasan RUU PKS menjadi perdebatan hingga saat ini. Menurut Hetifah, kemungkinan ada problem itu dipengaturan dan menganggap RUU ketahanan keluarga menurunkan angka kekerasan terhadap perempuan.

Padahal tidak mungkin hanya pencegahan saja ditengah masih tingginya kasus kekerasan. RUU PKS juga bisa menjadi pencegahan yang paling ampuh.

Alasan kesetujuannya juga karena RUU PKS selain bisa sebagai pelindung dan memberikan kejelasan tindakan penanggulangan, pun sanksi hukum bila terjadi pelanggaran bisa lebih jelas.

Lamanya pengesahan RUU PKS tak lepas dari dinamika yang terjadi, hal itu karena ada yang beranggapan KUHP juga tersusun dulu baru RUU disahkan.
Dengan pengaturan yang jelas pengesahan RUU PKS kemudian dapat memberikan efek jera dan membuat orang berhati hati.

Hetifah memyebut, sebelumnya RUU PKS sudah masuk Program legislasi nasional (Prolegnas) namun kondisi pandemi virus corona atau Covid-19 meubah pembahasan RUU PKS menjadi pembahasan lainnya yang dianggap prioritas.
Dirinya sangat bersyukur sekali kalau RUU PKS disahkan.

"Yang sekarang hukumannya kan terlalu ringan, jadi mungkin tidak membuat jera pelaku," terangya

Dalam pratiknya kata Hetifah lagi, tak semua pelanggaran yang telah dilaporkan kasusnya turut selesai dengan adil, cara melihat suatu masalah tidak adil dan diskriminatif itu bisa berubah.
Dengan begitu dengan UU Pencegahan ada langkah-langkah dari kepolisian melakukan lidik, serta rumah sakit pun bisa lebih ramah kepada perempuan untuk melakukan autopsi.

Pencegahan sedini mungkin bisa mulai dilakukan mulai dari diri sendiri kata Hetifah.
Yakni, harus tegas dan berani untuk melawan tindakan pelanggaran dengan melaporkan, dan disiapkannya call centre atau krisis center untuk saksi dan korban agar terlindungi.
Dan itu, sudah menjadi tanggung jawab pemerintah.

Kodisi lingkungan yang berpotensi terjadi pelecehan dan kekerasan segera diminimalisir semisal disekolahan, kampus, taman dengan lampu penerangan yang memadai.

"Kawasan atau zona publik anti kekerasan dan pelecehan harus pula sedari awal diterapkan," pungkasnya.

Sebagai informasi, disadur dari laman catatan akhir tahun (Catahu) 2020, Komnas Perempuan mencatat 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan terdiri dari 421.752 kasus, bersumber dari data kasus/perkara yang ditangani Pengadilan Agama.

Lainnya 14.719 kasus, ditangani lembaga mitra pengaduan dan layanan yang tersebar sepertiga provinsi di Indonesia.
Lainnya lagi 1419 kasus dari Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR), unit yang yang sengaja dibentuk Komnas Perempuan untuk menerima pengaduan korban yang datang langsung maupun menelepon ke Komnas Perempuan.

Dari 1419 pengaduan tersebut, 1.277 merupakan kasus berbasis gender dan tidak berbasis gender sebanyak 142 kasus.

Data kekerasan yang dilaporkan mengalami peningkatan signifikan sepanjang lima tahun terakhir. (Redaksi Politikal - 001)

Tag berita:
Berita terkait