IDENESIA.CO - Anggota Komisi VI DPR RI Rieke Diah Pitaloka menyoroti adanya dugaan permainan stok dan regulasi dalam produksi serta distribusi Minyakita yang menyebabkan lonjakan harga di pasaran.
Rieke meminta pemerintah melalui Satgas Pangan untuk mengusut kemungkinan adanya jaringan mafia yang mengendalikan peredaran minyak goreng bersubsidi tersebut.
“Bongkar juga indikasi permainan perizinan Minyakita, dari izin produksi, SNI, penggunaan merek, hingga peredaran. Jangan sampai ada perusahaan yang berkedok produsen, padahal hanya melakukan pengemasan,” ujar Rieke dalam keterangannya, Minggu (9/3/2025).
Rieke mengungkapkan bahwa meskipun perizinan distribusi Minyakita melibatkan berbagai lembaga seperti Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, dan BPOM, tetap saja ditemukan adanya lonjakan harga di pasaran yang tidak wajar. Ia menilai bahwa pengawasan berlapis belum mampu menjamin kualitas dan kestabilan harga minyak goreng bagi masyarakat.
Saat melakukan kunjungan ke Pasar Johar Karawang, Rieke tidak menemukan adanya produk Minyakita dengan volume yang kurang dari takaran seharusnya. Namun, permasalahan utama justru terletak pada lonjakan harga yang jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET). Meski di kemasan tercantum harga Rp 15.700 per liter, pedagang menjualnya seharga Rp 19.000 per liter.
Berdasarkan keterangan pedagang, kenaikan harga ini disebabkan oleh tingginya harga dari agen yang telah mencapai Rp 17.000 per liter. Hal ini memperkuat dugaan bahwa terdapat permainan stok Minyakita yang berkorelasi dengan kenaikan harga.
“Ini bukan sekadar masalah distribusi biasa, tetapi ada indikasi kuat permainan stok yang berimbas pada kenaikan harga di tingkat pedagang. Ini yang harus segera diusut,” tegas Rieke.
Desakan Rieke untuk mengusut dugaan mafia distribusi Minyakita menjadi sorotan di tengah upaya pemerintah menstabilkan harga dan ketersediaan minyak goreng bagi masyarakat. Dengan adanya temuan ini, pengawasan terhadap rantai distribusi Minyakita diharapkan semakin diperketat untuk mencegah adanya spekulasi yang merugikan konsumen.
(Redaksi)