Minggu, 7 Juli 2024

26 Akademisi Tolak Revisi UU MK: Kirim Surat Terbuka kepada Presiden Jokowi dan Ketua DPRD RI

Sabtu, 18 Mei 2024 13:15

GEDUNG - Mahkamah Konstitusi./ Foto:Istimewa

POLITIKAL.ID - Revisi UU MK dinilai merupakan rencana jahat DPR dan Pemerintah dalam upaya mengendalikan MK. Atas hal ini, sebanyak 26 akademisi menolak revisi UU MK dengan mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo alias Jokowi dan Ketua DPR Puan Maharani

Surat berwarkat 17 Mei 2024 ini dikirimkan oleh kelompok akademisi hukum tata negara dan hukum administrasi negara yang tergabung dalam Constitutional and Administrative Law Society alias CALS

Salah satu dari akademisi tersebut adalah Herdiansyah Hamzah, pakar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman.

Dia menuturkan, surat terbuka ini bertujuan melawan rencana jahat DPR dan Pemerintah untuk mengendalikan MK, sekaligus meminta Mahkamah tersebut dikembalikan ke khittah-nya seperti semula. 

 "Para scholars tidak boleh diam terhadap kejahatan, termasuk kejahatan yang coba dilegalkan melalui UU," ujar Herdiansyah saat dikonfirmasi pada Jumat, 17 Mei 2024.

Mirisnya lagi, kata dia, upaya kontrol terhadap MK melalui perubahan undang-undang ini justru terjadi menjelang momentum peringatan 26 tahun reformasi pada 21 Mei mendatang.

Dua Pasal di Revisi UU MK Ini Disorot Ketua MKMK: Ancam Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman
Dalam salinan surat yang diterima Tempo, CALS menyatakan tidak seharusnya DPR dan Presiden melakukan pembahasan dan mengesahkan RUU yang krusial bagi kekuasaan kehakiman di masa lame duck alias bebek lumpuhmatau mendekati transisi estafet pemerintahan periode selanjutnya.

Kelompok akademisi ini juga menyoroti sejumlah masalah dalam revisi UU MK. Persoalan ini tak cuma secara prosedural, tapi juga materiil.

Persoalan Prosedural Revisi UU MK

Pertama, perubahan terhadap beleid kerap bersifat reaksioner dan tidak dilakukan dengan perencanaan yang matang. CALS mencatat, perencanaan perubahan keempat UU MK tidak terdaftar dalam daftar Program Legislasi Nasional Tahun atau Prolegnas 2020-2024 maupun Prolegnas Prioritas Tahun 2024.

"Kedua, pembahasan pada pembicaraan tingkat I dilakukan secara senyap, tertutup, dan tergesa-gesa," kata CALS. "Terdapat satu fraksi yang tidak dilibatkan, yaitu PDIP dan juga sejumlah anggota Komisi III DPR."

Ketiga, DPR dan Presiden pun mengabaikan meaningful participation alias partisipasi yang bermakna karena menutup kanal partisipasi publik terhadap dokumen perancangan undang-undang dan naskah akademik.

Keempat, pembahasan memanfaatkan masa lame duck atau masa transisi menuju pemerintahan periode baru.

"Kelima, pembahasan dilakukan di masa reses, bukan di masa sidang. Seharusnya, DPR fokus
Seperti diketahui rapat pembahasan tingkat I telah dilakukan oleh Komisi III DPR dengan Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan serta Kementerian Hukum dan HAM saat masa reses. Yakni, pada Senin, 13 Mei 2024 atau sehari menjelang pembukaan masa sidang DPR.

Masalah Materiil Revisi UU MK

"Menilik materi muatan, perubahan keempat UU MK sejatinya tak berorientasi pada penguatan MK, melainkan untuk membajak independensi MK beserta Majelis Kehormatan MK," ujar CALS

Pertama, dalam satu dekade terakhir, perubahan terhadap UU MK, lebih banyak mengotak-atik masa jabatan hakim konstitusi. Perubahan terhadap UU MK belum menyentuh pokok-pokok yang krusial bagi penguatan kewenangan dan kelembagaan MK. 

"Kedua, kami melihat terdapat indikasi untuk mengotak-atik konfigurasi hakim konstitusi agar terisi jajaran yang lebih sesuai dengan kehendak DPR dan Presiden," tuding CALS.

Kelompok akademisi ini menjelaskan, pasal 23A ayat (2), (3), dan (4) perubahan keempat UU MK menjadi dasar recall (penarikan kembali) hakim konstitusi dengan mekanisme evaluasi per 5 tahun oleh lembaga pengusul. Pengaturan ini seolah hendak mengancam independensi dan imparsialitas kewenangan konstitusional MK.

"Sebab, hakim konstitusi akan dependen pada kehendak lembaga pengusul," ujar CALS

Ketiga, CALS menemukan upaya intervensi terhadap MK tak hanya pada masa jabatan dan penyelenggaraan kewenangan saja, melainkan juga pada lembaga penegak etiknya. Pasal 27A Perubahan Keempat UU MK menambahkan tiga personil  MKMK yang diusulkan oleh tiga lembaga pengusul. 

"Konfigurasi demikian potensial mempersempit ruang bagi MKMK untuk lebih independen mengawasi kinerja sembilan hakim konstitusi, sehingga semakin mudah diintervensi oleh lembaga pengusul di masa depan," ujar CALS.

Keempat, Pasal 87 Perubahan Keempat UU MK menjadi aturan peralihan yang mengindikasikan adanya upaya untuk menyaring hakim konstitusi petahana. Yaitu, dengan mengatur perlunya persetujuan lembaga pengusul bagi: (a) hakim konstitusi yang telah menjabat lebih dari 5 tahun dan kurang dari 10 tahun untuk melanjutkan masa jabatannya; dan (b) hakim konstitusi yang telah menjabat melebihi 10 tahun untuk melanjutkan masa jabatan hingga usia 70 tahun. 

(Redaksi)

Tag berita: