Jumat, 31 Januari 2025

Donald Trump Usulkan Pemindahan Warga Gaza ke Negara Arab, Tuai Protes dan Kontroversi

Minggu, 26 Januari 2025 20:0

Kawasan pemukiman Juhor ad-Dik, yang dibangun oleh Badan Kerja Sama dan Koordinasi Turkiye (TIKA), rusak berat akibat serangan Israel di Gaza pada 28 November 2023. (Mustafa Hassona - Anadolu Agency)

POLITIKAL.ID - Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, baru-baru ini mengungkapkan rencananya untuk "membersihkan" Gaza dengan mengusulkan agar Mesir dan Yordania menerima warga Palestina yang kini berada di wilayah tersebut.

Pernyataan ini disampaikan pada Sabtu, 25 Januari 2025, ketika Trump menggambarkan Gaza sebagai "tempat penghancuran" akibat dampak perang antara Israel dan Hamas.

Dalam percakapan dengan wartawan di atas Air Force One, Trump mengatakan bahwa ia telah berbicara dengan Raja Yordania Abdullah II tentang kemungkinan tersebut, dan berencana untuk berbicara dengan Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi mengenai masalah yang sama.

Saya ingin Mesir membawa orang. Dan saya ingin Yordania juga mengambil orang," ungkap Trump, sembari menambahkan bahwa ini adalah langkah untuk "membersihkan" Gaza dari penduduk yang telah lama tinggal di sana, meskipun angka korban terus bertambah akibat perang.

Proposal tersebut mengundang kecaman tajam dari kelompok-kelompok Palestina dan aktivis hak asasi manusia yang menilai ini sebagai upaya pemindahan paksa dan pelanggaran hak mereka untuk tetap tinggal di tanah air mereka.

Bassem Naim, anggota biro politik Hamas, menyebutnya sebagai "menyedihkan" dan menyatakan bahwa rencana tersebut mendorong kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Ia menegaskan bahwa rakyat Palestina akan menggagalkan setiap proyek yang berusaha mengusir mereka dari tanah mereka.

Dalam konteks yang lebih luas, ide pemindahan massal warga Gaza telah mendapat dukungan dari beberapa pejabat Israel, termasuk Menteri Keuangan Bezalel Smotrich, yang menyambut baik gagasan tersebut sebagai solusi untuk mengatasi masalah terorisme di Gaza dan membuka peluang hidup yang lebih baik bagi warga Palestina di tempat lain.

Namun, banyak pihak, termasuk Mesir dan Yordania, menyatakan bahwa mereka tidak akan menerima proposal tersebut, yang dianggap sebagai ancaman terhadap keamanan nasional mereka.

Aktivis hak asasi Palestina terkemuka, Ameer Makhoul, mengatakan bahwa proposal Trump adalah bagian dari proyek Amerika yang diarahkan pada "rekonstruksi dan rekayasa demografi politik tanpa kamp dan upaya untuk membongkar ikatan rakyat Palestina".

"Dalam kasus Palestina, tidak ada pemindahan penduduk sementara, melainkan pemindahan permanen, seperti yang terjadi sejak 1948 dengan para pengungsi dan 1967 dengan para pengungsi," kata Makhoul kepada Middle East Eye.

Pembicaraan Trump tentang lokasi Jalur Gaza mengungkapkan niatnya untuk menangani masalah ini sebagai real estat, serta upaya untuk mengendalikan jalur tersebut dan sumber daya ekonomi, terutama gas alam di laut Gaza."

Sisi sebelumnya telah memperingatkan agar tidak ada "pemindahan paksa" warga Palestina dari Gaza ke Mesir, dengan mengatakan bahwa langkah seperti itu dapat membahayakan perjanjian damai dengan Israel 1979.

Sementara itu, Yordania telah menjadi rumah bagi sekitar 2,3 juta pengungsi Palestina yang terdaftar, menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa.

"Mesir dan Yordania tidak akan menerima proposal Trump karena ini adalah posisi yang tidak dapat diterima secara politik dan menimbulkan ancaman bagi keamanan nasional masing-masing," kata Makhoul.

Proposal Trump ini juga menyoroti ketegangan yang ada di kawasan tersebut, dengan banyak pihak yang menganggapnya sebagai bagian dari upaya Amerika untuk mengendalikan jalur Gaza, serta sumber daya alam di wilayah tersebut, seperti gas alam di lepas pantai Gaza.

Sejumlah pengamat juga mengaitkan ini dengan strategi rekonstruksi kawasan yang lebih mirip dengan proyek properti, ketimbang langkah damai yang menghormati hak-hak rakyat Palestina.

(Redaksi) 

Tag berita: