Media, misalnya, berperan membingkai pemberitaan sekaligus menyebarluaskan informasi terkini mengenai respons pemerintah di tengah krisis internasional. Tak lama usai serangan 11 September yang menghancurkan World Trade Center, publik AS berada pada kondisi yang terancam dan media massa memainkan perannya: membingkai terorisme dengan cara sensasional sehingga meningkatkan kemungkinan persetujuan masyarakat terhadap kebijakan luar negeri pemerintah—yang sebetulnya belum tentu semuanya sepakat.
Awal-awal masa krisis, tulis Jocelyn, liputan media biasanya “tidak berdarah-darah dan patriotik” sehingga membantu pembentukan konsensus di antara para elite. Tak hanya itu saja, di waktu yang sama, pers juga memberikan porsi cukup banyak kepada kelompok pro-perang. Suara yang kritis menolak perang serta oposisi seringkali diabaikan. Dengan demikian, informasi dari media mempunyai efek besar bagi publik karena mereka punya siasat tersendiri dalam menyajikan krisis internasional.
Sementara elite dan retorika politik juga menjadi faktor penting dalam kesuksesan rally ‘round the flag effect. Bila dikemas secara sederhana dan menarik, pidato presiden ketika menanggapi krisis internasional bakal mendulang banyak dukungan dari masyarakat. Karena, terlepas dari kebijakan yang diambil, krisis bisa membuat publik bersatu dan membeli apa saja yang keluar dan dijual Gedung Putih. Contohnya, reaksi publik pasca-serangan 11 September 2001.
Sejarah mencatat bahwa rally ‘round the flag effect bukan sebatas pepesan politik yang kosong. Presiden AS sudah banyak yang menikmati keuntungan dari peristiwa internasional tertentu.
Barack Obama, misalnya, mendapatkan kenaikan sembilan poin—menjadi 56 persen—usai Osama bin Laden dihabisi tentara AS di Pakistan pada 2011. Kenaikan poin Obama, rupanya, bukanlah rekor dalam jagat politik AS.
Popularitas John F. Kennedy naik 12 poin setelah Krisis Rudal Kuba. Presiden Ford mendapatkan lonjakan 11 poin usai militer AS berusaha menyelamatkan kapal dagang Mayaguez. George H.W. Bush memperoleh 24 poin ketika Operasi Badai Gurun dilakukan.
Kemudian popularitas Franklin Roosevelt naik 12 poin pasca-serangan Pearl Harbor. Jimmy Carter meroket 13 poin setelah demonstran Iran mengepung Kedubes AS di Teheran. Sedangkan Nixon mendapatkan 16 poin tak lama usai meneken perjanjian damai yang mengakhiri Perang Vietnam. Namun demikian, rekor tetap dipegang George W. Bush. Ia memperoleh 35 poin usai serangan 11 September.
Menurut catatan Council on Foreign Relations, pola dari rally ‘round the flag effect dapat digambarkan seperti berikut: masyarakat AS cenderung lebih mendukung presiden usai peristiwa besar, terlepas apakah itu berakhir baik atau buruk.
Statistik yang dihimpun Gallup memperlihatkan bahwa rata-rata presiden AS memperoleh kenaikan tujuh poin dengan rally ‘round the flag effect. Kenaikan tersebut hanya bertahan sekitar, maksimal, empat minggu.
William Baker dan John Oneal dalam penelitian berjudul “Patriotism or Opinion Leadership?: The Nature and Origins of the “Rally ‘Round the Flag” Effect” (2001) yang terbit di The Journal of Conflict Resolution menerangkan rally ‘round the flag effect akan efektif bekerja—dan menghasilkan keuntungan poin—pada kondisi: ketika AS melawan kekuatan besar sampai ada tujuan revisionis (mendorong Irak angkat kaki dari Kuwait, misalnya).
Anomali Trump
Hampir setiap presiden AS mendapatkan kenaikan poin usai peristiwa internasional. Namun, itu tak berlaku buat Trump.