POLITIKAL.ID - Komisi III DPR meminta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) untuk memberikan daftar tertulis nama-nama orang yang akan ikut dalam program pembebasan 30.000 narapidana dan anak sebagai langkah mencegah penyebaran virus Corona (COVID-19) di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Termasuk pembebasan 300 napi koruptor yang menuai pro dan kontra di tengah masyarakat.
Anggota Komisi III DPR Taufik Basari mengatakan, Komisi III akan mengawasi apakah sudah benar orang-orang yang nanti ikut dalam program ini adalah mereka yang memang memenuhi kriteria, atau sebaliknya ada napi yang seharusnya memenuhi kriteria namun tidak dimasukkan karena terlewatkan secara administratif atau karena ada kongkalikong.
"Komisi III akan melakukan pengawasan ketat agar tidak sembarangan membebaskan orang, tidak sembarangan memberikan asimilasi atau pembebasan bersyarat bagi orang-orang yang sebenarnya tidak memenuhi syarat menurut parameter yang sangat ketat," tutur Ketua Kelompok Fraksi Partai Nasdem, Kamis (2/4/2020).
Taufik meminta seluruh aparat yang terkait dalam program pembebasan napi ini agar jangan pernah berfikir menjadikan program tersebut sebagai kesempatan untuk kongkalikong, melakukan hal-hal di luar ketentuan hukum.
"Kita minta Menkumham melakukan tindakan tegas apabila ada oknum-oknum yang memanfatkan situasi ini untuk melaukan kepentingan di luar kepentingan kita bersama, yakni mengurangi over kapasitas (penjara) dan menanggulangi penyebaran COVID-19 di lapas. Tindakan tegas harus diberikan Menkumham kalau ada oknum-oknum yang bermain," pintanya.
Dikatakan Taufik, pihaknya tidak punya pilihan lain selain menyetujui usulan Menkumham untuk merevisi Peraturan Pemerintah (PP) No 99/2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Selain untuk mengurangi jumlah napi dalam lapas yang memang over kapasitas, para napi adalah kelompok yang rentan terkena COVID-19. Langkah ini sebenarnya tidak hanya dilakukan Pemerintah Indonesia, namun juga sejumlah negara lain seperti Iran, Afghanistan termasuk Amerika Serikat (AS).
"Kebijakan ini memang suatu keharusan yang dihadapi negera, terlebih lagi di Indonesia ada problem lain yaitu kelebihan kapasitas penghuni lapas yang kalau tidak dilakukan langkah ini maka kita sedang mempertaruhkan nyawa para napi," tuturnya.
Menurutnya, kebijakan ini menjadi penting karena para napi adalah kelompok orang yang tidak bisa hidup mandiri, namun bergantung kepada pemerintah. Mulai dari kebutuhan makan, minum, dan lainnya.
"Terhadap kelompok yang tidak bisa mandiri dalam menentukan dirinya ini, pemerintah memang harus mengambil satu kebijakan penting," katanya.
Disinggung mengenai polemik 300 napi koruptor yang juga akan dibebaskan, politikus yang memiliki latar belakang sebagai pengacara ini, berdasarkan prinsip-prinsip hukum dan HAM, ketika ada suatu kebijakan untuk napi maka tidak boleh ada perlakuan diskriminatif.
"Konteksnya bicara soal napi, semua napi harus dilihat sama dan memiliki hak yang sama sebagai napi, terlepas apapun latar belakang kasusnya," tuturnya.
Disinggung mengenai kasus korupsi, narkoba, dan terorisme sebagai extra ordinary crime atau kejahatan luar biasa, Taufik mengatakan ukuran extra ordinary crime itu ada pada proses hukumnya, termasuk proses hukum acaranya sehingga karena tergolong kasus berat maka hukumannya juga harus diberikan putusan yang berat kepada para pelakunya.
"Tapi ketika putusan pengadilan sudah diputuskan dan menjadi narapidana maka posisinya sudah menjadi napi yang memiliki hak yang sama dengan napi lainnya. Kita harus proporsional dalam menyikapi hal ini. Kita tidak sedang mengesampingkan soal extra ordinary crime, tapi soal kesamaan hak napi di mata hukum," katanya. (*)
Artikel ini telah tayang di sindonews.com dengan judul "Komisi III Minta Kemenkumham Tak Sembarangan Bebaskan Napi"