POLITIKAL.ID - Mahkamah Konstitusi (MK) resmi menghapus aturan presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen suara. Keputusan ini disambut berbagai pihak, termasuk mantan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, yang turut memberikan tanggapan.
Langkah ini berawal dari gugatan yang diajukan oleh empat mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta: Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Tsalis Khoirul Fatna, dan Faisal Nasirul Haq.
MK mengabulkan gugatan tersebut dalam sidang putusan perkara nomor 62/PUU-XXII/2024 yang digelar pada Kamis (2/1).
Anies Baswedan, melalui unggahannya di media sosial X pada Sabtu (4/1), memuji perjuangan para mahasiswa itu.
"Mereka adalah anak muda yang memperkuat demokrasi Indonesia, bukan anak muda yang melucutinya," tulis Anies.
Ia juga menyatakan bahwa pemuda-pemudi seperti mereka membawa harapan baru bagi masa depan demokrasi Indonesia. "Harapan untuk masa depan demokrasi Indonesia akan selalu menyala," tambahnya.
Sebelumnya MK resmi menghapus presidential threshold lewat perkara nomor 62/PUU-XXII/2024 yang dibacakan dalam sidang putusan, Kamis (2/1).
Sebelum putusan tersebut, menurut pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) pasangan calon presiden dan wakil presiden yang mau berkontestasi harus diusulkan partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR. Atau, memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.
Dengan putusan MK terbaru, pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 bertentangan dengan konstitusi. Ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden dinilai bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat.
Artinya, setiap partai politik memungkinkan untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden.
Namun, untuk mencegah jumlah pasangan calon presiden yang terlalu banyak, MK merekomendasikan rekayasa konstitusional, salah satunya meminta agar partai bergabung dalam koalisi selama gabungan koalisi itu tak terlalu dominan.
(*)