POLITIKAL.ID - Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni menyebut ada potensi penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power dalam Surat Telegram Nomor ST/1100/IV/HUK.7.1.2020 per tanggal 4 April 2020 terkait penanganan kejahatan di ruang siber selama penanganan wabah virus corona (Covid-19).
Dia menyebut aturan sangat berbahaya karena polisi bisa mengambil tindakan terhadap pihak-pihak yang mengkritik Jokowi atau pejabat pemerintah lain dalam penanganan corona. Apalagi, kasusnya ditangani oleh Kabareskrim Polri Komjen Listyo Sigit Prabowo, yang menurut Sahroni punya kedekatan dengan Presiden Joko Widodo.
"(Aturan) ini berpotensi besar menjadi abuse of power, terutama karena Kabareskrim sendiri adalah mantan Ajudan Presiden Jokowi (dan Kapolres Solo) ketika beliau (Jokowi) masih menjabat sebagai Wali Kota Solo," kata Sahroni dalam keterangannya, Selasa (7/4).
Bendahara Umum DPP Partai NasDem ini mengingatkan bahwa Indonesia adalah negara yang menganut sistem demokrasi. Masyarakat memiliki hak untuk mengkritik setiap kebijakan pemerintah.
Adapun tugas polisi, menurut Sahroni, seharusnya fokus memberikan layanan dan melindungi masyarakat luas yang terdampak penyebaran virus corona corona. Layanan bisa diberikan dari segi kesehatan maupun pendapatan ekonomi.
Sahroni juga mengingatkan bahwa polisi digaji oleh rakyat sehingga seharusnya bekerja untuk rakyat.
"Polisi fokus saja sama bantu masyarakat yang lagi susah. Dibantu agar mereka merasa aman dan terlindungi di lingkungannya, sambil perketat pengawasan di lapangan untuk orang-orang yang masih keluar enggak pakai masker, atau yang belum melakukan social distancing," tuturnya.
Sebelumnya, Amnesty International Indonesia mendesak Kapolri mencabut Surat Telegram Nomor ST/1100/IV/HUK.7.1.2020 per tanggal 4 April 2020 terkait penanganan kejahatan di ruang siber selama penanganan wabah virus coron.
Salah satu isi Surat Telegram itu adalah menindak penyebaran informasi palsu atau hoaks selama penanganan wabah Covid-19 serta penghinaan kepada presiden dan pejabat pemerintah.
Aturan itu dinilai bermasalah karena membuka ruang potensi risiko penyalahgunaan kekuasaan kepolisian dan penegak hukum untuk bersikap represif.
"Atas nama penghinaan presiden dan pejabat negara, telegram itu berpotensi memicu pelanggaran kemerdekaan berpendapat, yang juga dijamin oleh Peraturan Internal Kapolri sebelumnya. Amnesty mendesak pihak berwenang menarik surat telegram tersebut." kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid. (*)
Artikel ini telah tayang di cnnindonesia.com dengan judul "NasDem: Telegram Penghinaan Pejabat Berpotensi Abuse of Power"