Praktisi Hukum Samarinda Setuju Pembaharuan dalam R-KUHP, Begini Catatannya
Selasa, 30 Agustus 2022 18:59
IST
POLITIKAL.ID, SAMARINDA – Draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dalam proses pembahasan. RUU KUHP adalah inisiatif pemerintah. Suara – suara protes kelompok pro demokrasi menginginkan adanya pasal yang mesti direvisi lebih lanjut. Terlebih dari insan pers, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia (19/8). Mereka mengidentifikasi ada 19 pasal dalam Rancangan Undang-undang KUHP yang mengancam secara langsung kebebasan pers di Indonesia. Temuan 19 pasal tersebut merupakan hasil kajian hukum antara AJI Indonesia dengan ahli dari Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, Herlambang P. Wiratraman terhadap RKUHP versi 4 Juli 2022. Dokumen hasil kajian tersebut berjudul Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dan Potensi Ancamannya Terhadap Kebebasan Pers di Indonesia (Baca; Press Release AJI - Tuntut 19 Pasal RKUHP Membahayakan Kebebasan Pers Dicabut). Menanggapi polemik yang ramai di media sosial. Praktisi Hukum kota Samarinda Roy Hendrayanto merespon polemik publik terkait tarik ulurnya rencana pengesahan RKUHP tersebut. “Saya sangat setuju dalam Rancangan KUHP ada pembaruan. Sebab Kitab Pidana kita umurnya sangat hampir tua,” kata Roy sapaanya hari Senin (29/8) malam kemarin. Lebih lanjut kata pengajar di Universitas Tujuh Belas Agustus 1945 (Untag) itu menambahkan. “Didalam KUHP yang sekarang terutama denda tidak sesuai dengan zaman. Maka harus diperlukan pembahuruan terhadap KUHAP tersebut,” imbuh dia lagi. Disinggung adanya dugaan pembungkaman demokrasi dalam menyampaikan pendapat terlebih kritik terhadap penguasa, Roy beranggapan hal tersebut tidak lah ada. “Pembangkaman itu tidak ada. Sebaiknya sama - sama kita membaca dan sama - sama membuka draf. Terlebih soal bagaimana makna sebenarnya mengkritik dan menghina itu,”tambahnya. Ia memberikan contoh bentuk penghinaan kepada kepala negara saat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjabat sebagai Presiden RI disamakan dengan binatang Kerbau lantaran disebut-sebut bekerja lambat. Dimana nama SBY tertulis di badan hewan teman petani tersebut. “Kalau Presiden disamakan dengan Kerbau, itu jelas bukan kritik, tapi penghinaan,” ungkapnya. Lanjut dia, sama hal polemik medio bulan November 2021 terkait adanya patung Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Sunu Provinsi NTT yang dianggap sebagai bentuk penghinaan salah satu agama atau ras. Namun warga mengganggap didirikannya patung Jokowi adalah bentuk rasa terima kasih lantaran telah memperhatikan daerah yang berbatasan dengan Benua Australia tersebut. “Tentu para ahli hukum di Jakarta dengan terhadap makna menghina dan mengkritik itu seperti apa sudah mencerna, mengamati serta menerjemahkan kalimat dalam setiap pasalnya,” yakinnya. Terkait dalam pembahasan penyusunan RKUHAP, disebut sebut minim keterlibatan elemen masyarakat sipil. Roy mengatakan Pemerintah dan DPR RI sudah melakukan harmonisasi dan Rapat Dengar Pendapat (RDP) kepada elemen – elemen masyarakat. Komisi 3 dalam membentuk hukum pidana menurutnya sudah melibatkan elemen mana saja yang harus diundang. “Saya yakin kecurigaan beberapa elemen itu tidak akan terjadi. Karena DPR sangat cermat. Terbukti sampai sekarang belum disahkan karena mungkin masih dipertimbangkan karena ingin melibatkan lebih luas lagi elemen masyarakat,” paparnya. Lanjut dia lagi. “Yang menyebutkan rancangan UU itu masih bermasalah harus membuat data. Sebab terakhir Peradi, Peradin, IPHI dan beberapa lawyer dan pimpinan organ advokat diundang DPR terutama membahas mana saja yang penerjemahan kritik dan penghinaan,” sebutnya. Mestinya kata Roy lagi, dalam melakukan kritik mesti disertai dengan etika. Ia memberikan masukan agar RKUHP bisa selesai menjadi UU. “RKUHAP masih dalam koridor yang bagus dan direvisi, sebab mesti ada acuan kepada si pelanggar atau hakim sebagai pengadil untuk melakukan penjatuhan hukuman bagi pelanggar pidana,” tutupnya. (001)
Berita terkait