POLITIKAL.ID - Mahkamah Konstitusi atau MK mengabulkan sebagian gugatan uji materi Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengenai ketentuan ambang batas parlemen atau parliamentary threshold sebesar 4 persen suara sah nasional yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan dalam Sidang Pleno MK pada Kamis, 29 Februari 2024.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra, MK tidak menemukan dasar rasionalitas dalam penetapan besaran angka atau persentase paling sedikit empat persen dimaksud dalam Pasal 414 ayat 1 Undang-Undang Pemilu yang mengatur ambang batas parlemen 4 persen itu.
Saldi juga menyebutkan angka ambang batas parlemen tersebut juga berdampak terhadap konversi suara sah menjadi jumlah kursi DPR yang berkaitan dengan proporsionalitas hasil pemilu.
Sebagai contoh, MK memaparkan, pada Pemilu 2004, suara yang terbuang atau tidak dapat dikonversi menjadi kursi sebanyak 19.047.481 suara sah atau sekitar 18 persen dari suara sah secara nasional
MK menilai kebijakan ambang batas parlemen telah mereduksi hak rakyat sebagai pemilih. Hak rakyat untuk dipilih juga direduksi ketika mendapatkan suara lebih banyak tetapi tidak menjadi anggota DPR karena partainya tidak mencapai ambang batas parlemen.
"Hal demikian disadari atau tidak, baik langsung atau tidak telah mencederai kedaulatan rakyat, prinsip keadilan pemilu, dan kepastian hukum yang adil bagi semua kontestan pemilu, termasuk pemilih yang menggunakan hak pilih. Berdasarkan hal tersebut, dalil pemohon yang pada pokoknya menyatakan ambang batas parlemen dan/atau besaran angka atau persentase ambang batas parlemen yang tidak disusun sesuai dengan dasar metode dan argumen yang memadai pada dasarnya dapat dipahami oleh Mahkamah," kata Saldi seperti dikutip Antara.
Putusan MK Berlaku Mulai Pemilu 2029
MK pun memutuskan norma Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu adalah konstitusional sepanjang tetap berlaku untuk Pemilu DPR 2024 dan konstitusional bersyarat untuk diberlakukan pada Pemilu DPR 2029 dan pemilu berikutnya, sepanjang telah dilakukan perubahan ambang batas parlemen dengan berpedoman pada persyaratan yang telah ditentukan.
Mulai 2029 harus dihitung ulang," kata kuasa hukum Perludem, Fadli Ramadhanil, saat dihubungi pada Kamis, 29 Februari 2024.
Dalam perkara ini, Perludem menggugat frasa "partai politik peserta pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit empat persen dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR".
Fadli mengatakan angka 4 persen itu berdampak pada terbuang atau hangusnya suara pemilih.
"Makanya mesti dihitung secara benar," tutur peneliti Perludem itu.
Perludem ingin norma pada pasal tersebut diganti menjadi "partai politik peserta pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara efektif secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR dengan ketentuan:
a. Bilangan 75 persen dibagi dengan rata-rata besaran daerah pemilihan, ditambah satu, dan dikali dengan akar jumlah daerah pemilihan;
b. Dalam hal hasil bagi besaran ambang parlemen sebagaimana dimaksud huruf a menghasilkan bilangan desimal, dilakukan pembulatan”.
Parliamentary Threshold Tak Efektif Menyederhanakan Sistem Kepartaian
Dalam putusan Nomor 116/PUU-XXI/2023 yang diunggah di situs web mkri.id disebutkan pemohon, yaitu Perludem, menyatakan penetapan angka atau persentase ambang batas parlemen dalam membahas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tidak terdapat perdebatan dan pijakan akademik yang jelas dalam menentukan angka atau persentase ambang batas parlemen dimaksud.
Perdebatan yang tampak hanya soal besaran angka, tanpa menghitung dampaknya terhadap prinsip pemilu proporsional dan suara pemilih yang terbuang. Bahkan, yang tidak kalah pentingnya untuk dikemukakan, pada salah satu rapat Pansus, tidak ada partai politik yang mengusulkan 4 persen besaran ambang batas parlemen dimaksud.
Perludem, dalam pokok permohonan di putusan itu, menyatakan ambang batas parlemen tidak cukup efektif dalam menyederhanakan sistem kepartaian di Indonesia. Dengan menggunakan faktor “interaksi antar partai yang menjadi definisi sistem kepartaian dipengaruhi oleh relevansi atau konsentrasi jumlah kursi yang dimiliki partai politik di parlemen” merujuk hasil pada pemilu sejak reformasi, Pemilu 1999 yang sama sekali tidak menerapkan ambang batas parlemen justru menghasilkan sistem multipartai sederhana.
Sementara itu, hasil pemilu yang menggunakan ambang batas parlementer, yaitu Pemilu 2009, Pemilu 2014, dan Pemilu 2019 yang masing-masing dengan ambang batas parlemen Pemilu DPR 2,5 persen; 3,5 persen; dan 4 persen justru menghasilkan sistem multipartai ekstrem.
Akibatnya, ketiga pemilu dimaksud menciptakan disproporsionalitas hasil pemilu yang disebabkan ambang batas parlemen yang tidak dihitung secara terbuka, akurat, dan transparan, tentu mengakibatkan sistem pemilu proporsional menjadi tidak pasti.
(Redaksi)