"Beberapa waktu lalu, Fatayat bikin diskusi kajian vitual tentang dampak psikologis terkait kasus kekerasan di dalam rumah tangga akibat pandemi dimana semua harus berada di rumah, dan ternyata banyak kasus kekerasan akibat itu," tutur Ketua PP Fatayat NU ini.
Anggoia mencontohkan bagaimana seorang ibu, misalnya, harus mengerjakan pekerjaan hariannya dan anaknya yang selama ini dipercayakan di sekolah untuk pendidikannya, kini menjadi tanggungan orangtua sepernuhnya, terutama ibu.
"Dia harus membersihkan rumah, memasak, HP cuma punya satu biasanya untuk hubungi anak dan suami yang kerja kalau dalam kondisi normal, sekrang semua ada di rumah, anaknya harus sekolah menggunakan HP tersebut dengan bimbingan ibunya. Apalagi jika bapaknya termasuk yang terdampak dirumahkan atau di-PHK, dan itu jumlahnya banyak, jutaan, yang tercatat hampir 2 juta," urainya.
Kondisi tersebut diperparah kondisi rumah yang mungkin tidak terlalu luas, dan pasangan suami istri tidak memiliki keterampilan berkomunkikasi dengan baik sehingga sulit untuk menjaga emosi.
"Itu banyak sekali kemudian kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga. Tekanan ekonomi dan tekanan beban bisa menimbulkan miskomunikasi," urainya.
Anggia memaparkan ada sebuah survei yang menyebutkan seberapa dekat interaksi pasangan suami dengan istri, hasilnya ternyata durasi komunikasi paling menyenangkan dengan pasangan itu paling itu maksimal hanya 15 menit.
"Setelah itu ya sudah biasa, bosan, marah-marah dan lainnya. Dan sebagian besar orang tidak punya kemampuan untuk mengelola komunikasi di dalam rumah tangga itu menyenangkan," pungkasnya. (*)
Artikel ini telah tayang di sindonews.com dengan judul "Pandemi Covid-19, DPR Minta Pemerintah Berikan Pendampingan Psikologis Masyarakat"