"Melihat poin-poin perubahan di atas terdapat empat permasalahan mendasar," ujarnya.
Kurnia berpendapat pembahasan RUU MK sama sekali tidak mendesak mengingat Indonesia sedang menghadapi pandemi Covid-19. Menurut dia, DPR semestinya dapat menjalankan fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan dengan baik dan fokus terhadap penanganan permasalahan kesehatan masyarakat.
"Bukan membentuk undang-undang yang bermuatan kontroversial," ucapnya.
Selain itu, ia memandang pembahasan RUU MK sangat kental akan nuansa konflik kepentingan, baik itu bagi DPR ataupun presiden. Sebab, tutur dia, saat ini MK sedang menyidangkan dua UU yang diusulkan oleh DPR dan Presiden, yakni uji formil UU KPK dan uji materi Perppu Nomor 1 Tahun 2020.
"Sedangkan jika menelisik substansi RUU ini justru yang diuntungkan adalah MK itu sendiri, sehingga publik khawatir ini akan menjadi bagian 'tukar guling' antara DPR, Presiden, dan MK," imbuhnya.
Permasalahan berikutnya adalah poin RUU yang tidak substansial. Menurut Kurnia, poin-poin perubahan hanya menyoal masa jabatan hakim MK, bukan mengarah kepada kepentingan kelembagaan.
Ia menjelaskan, isu mengenai perluasan kewenangan MK untuk melakukan pengaduan dan pertanyaan konstitusional, serta isu pengaturan hukum acara MK secara komprehensif pun lebih krusial untuk dibahas.
"Hal ini lebih penting untuk dibahas guna mengoptimalkan peran MK dalam menyelesaikan dan memulihkan pelanggaran hak-hak konstitusional warga negara oleh penyelenggara negara," ujarnya.