POLITIKAL.ID - Sejumlah kelompok masyarakat sipil dan organisasi yang tergabung dalam Koalisi Save Mahkamah Konstitusi (MK) mengendus potensi transaksi politik di balik Revisi Undang-undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (RUU MK).
Salah seorang anggota koalisi, Kurnia Ramadhana, mengatakan pihaknya mendapat kabar bahwa naskah revisi UU MK sudah berada di tangan Presiden Joko Widodo.
"Perubahan ini disinyalir menjadi cara untuk 'menukar guling' supaya MK dapat menolak sejumlah pengujian konstitusionalitas yang krusial, seperti Revisi UU KPK dan Perppu Penanganan Covid-19," kata Kurnia melalui pesan tertulis, Senin (4/5).
Kurnia menuturkan koalisi mencatat sejumlah permasalahan pokok yang diatur dalam RUU MK. Pertama, kenaikan masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua MK dari 2 tahun 6 bulan menjadi 5 tahun, seperti yang diatur dalam Pasal 4 ayat (3) RUU MK.
Kedua, menaikkan syarat usia minimal hakim konstitusi dari 47 tahun menjadi 60 tahun sebagaimana direncanakan dalam Pasal 15 ayat (2) huruf d RUU a quo.
Kemudian, masa jabatan hakim konstitusi diperpanjang menjadi hingga usia pensiun, yaitu 70 tahun. Sebelumnya dalam satu periode, hakim konstitusi menjabat selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan berikutnya.
"Hal ini terlihat dari dihapusnya ketentuan Pasal 22 dalam RUU a quo dan Pasal 87 huruf c yang memperpanjang usia pensiun hakim konstitusi, dari 60 tahun menjadi 70 tahun.
Masih dalam Pasal a quo, disebutkan juga bahwa apabila hakim MK pada saat jabatannya berakhir telah berusia 60 tahun, maka meneruskan jabatannya sampai usia 70 tahun. Sementara itu, terang dia, untuk yang tidak mencapai usia tersebut dapat ikut seleksi kembali jika usianya sudah mencapai 60 tahun.
"Melihat poin-poin perubahan di atas terdapat empat permasalahan mendasar," ujarnya.
Kurnia berpendapat pembahasan RUU MK sama sekali tidak mendesak mengingat Indonesia sedang menghadapi pandemi Covid-19. Menurut dia, DPR semestinya dapat menjalankan fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan dengan baik dan fokus terhadap penanganan permasalahan kesehatan masyarakat.
"Bukan membentuk undang-undang yang bermuatan kontroversial," ucapnya.
Selain itu, ia memandang pembahasan RUU MK sangat kental akan nuansa konflik kepentingan, baik itu bagi DPR ataupun presiden. Sebab, tutur dia, saat ini MK sedang menyidangkan dua UU yang diusulkan oleh DPR dan Presiden, yakni uji formil UU KPK dan uji materi Perppu Nomor 1 Tahun 2020.
"Sedangkan jika menelisik substansi RUU ini justru yang diuntungkan adalah MK itu sendiri, sehingga publik khawatir ini akan menjadi bagian 'tukar guling' antara DPR, Presiden, dan MK," imbuhnya.
Permasalahan berikutnya adalah poin RUU yang tidak substansial. Menurut Kurnia, poin-poin perubahan hanya menyoal masa jabatan hakim MK, bukan mengarah kepada kepentingan kelembagaan.
Ia menjelaskan, isu mengenai perluasan kewenangan MK untuk melakukan pengaduan dan pertanyaan konstitusional, serta isu pengaturan hukum acara MK secara komprehensif pun lebih krusial untuk dibahas.
"Hal ini lebih penting untuk dibahas guna mengoptimalkan peran MK dalam menyelesaikan dan memulihkan pelanggaran hak-hak konstitusional warga negara oleh penyelenggara negara," ujarnya.
Selain itu, masalah selanjutnya adalah keterlibatan partisipasi publik. Koalisi menilai pembahasan RUU MK menambah catatan panjang produk legislasi DPR yang cacat formil dan tak sejalan dengan kebutuhan serta kehendak publik.
Koalisi Save Mahkamah Konstitusi ini terdiri dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif (Kode Inisiatif), Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, dan sebagainya.
CNNIndonesia.com sudah berupaya menghubungi Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, Dini Shanti Purwono, untuk mendapat respons mengenai tudingan koalisi dan mengonfirmasi terkait surat presiden untuk RUU MK. Namun sampai berita ini ditulis, belum diperoleh jawaban dari yang bersangkutan.
Sementara Juru Bicara Mahkamah Konstitusi Fajar Laksono menyatakan pihaknya tak ikut campur dalam proses revisi UU MK. Lembaga pimpinan Anwar Usman itu menyerahkan kewenangan tersebut kepada DPR selaku pembentuk undang-undang.
"Sesuai kedudukan, MK pasif, tak ikut-ikut dalam proses legislasi, apalagi yang akan mengatur MK sendiri. Semua RUU pada gilirannya menjadi UU, dan semua UU potensial diuji di MK," kata Fajar kepada CNNIndonesia.com. (*)
Artikel ini telah tayang di cnnindonesia.com dengan judul "RUU MK Disebut 'Tukar Guling' Kepentingan Presiden dan DPR"