Padahal, ucapnya, dalam pasal 65 ayat (2) undang-undang nomor 34 tahun 2004 tentang TNI menyatakan bahwa “prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang.”
Sehingga menurut Castro, keputusan KPK tersebut dapat merusak sistem penegakan hukum pemberantasan korupsi di Indonesia.
Lanjut dijelaskannya, sebagai kejahatan yang tergolong tindak pidana khusus, KPK sudah seharusnya menggunakan undang-undang KPK sebagai pijakan dan landasan hukum dalam memproses militer aktif yang terlibat korupsi karena merupakan lex specialist derogat lex generalis.
“Dengan demikian, KPK seharusnya mengusut kasus ini hingga tuntas dan tidak perlu meminta maaf,” jelasnya.
Saksi FH Unmul Beri Catatan Penting
Menyikapi kasus tersebut, saksi FH Unmul memberikan catatan:
1. Meminta KPK untuk tetap menangani perkara ini dengan sistem peradilan koneksitas karena pelakunya melibatkan orang sipil dengan orang yang berstatus anggota tni.
2. Peradilan koneksitas harus dilakukan karena tindak pidana korupsi jelas merugikan kepentingan umum.
3. KPK sedianya memiliki wewenang luas dalam menangani setiap kasus dugaan korupsi, tak terkecuali kasus korupsi yang melibatkan anggota tni sebagaimana diatur dalam pasal 42 undang-undang nomor 30 tahun 2002 tentang komisi pemberantasan korupsi.
4. Pengusutan kasus korupsi yang melibatkan oknum militer harus dilakukan sampai tuntas, tidak hanya terhadap pelaku tapi juga semua pelaku penyertaan yang aktif maupun pasif. (*)