POLITIKAL.ID – Berita Nasional yang dikutip POLITIKAL.ID tentang pidato Soekarno tentang Trisila dan Ekasila yang masuk dalam RUU HIP.
Trisila dan Ekasila yang dimuat dalam Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) banyak dikritik.
Trisila dan Ekasila dinilai mengerdilkan Pancasila.
Diketahui, Pada Pasal 6 RUU HIP dinyatakan bahwa ciri pokok Pancasila disebut Trisila, antara lain Ketuhanan, Nasionalisme dan Gotong Royong. Kemudian pada Ayat (2) dinyatakan bahwa Trisila terkristalisasi dalam Ekasila, yakni gotong royong.
Sebenarnya, Trisila dan Ekasila merupakan gagasan Sukarno saat menyampaikan pidato dalam rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau Dokuritsu Zyunbi Tyoosa-kai pada 1 Juni 1945. Kala itu, tidak ada peserta rapat yang menyela atau menentang gagasan tentang Trisila dan Ekasila meski akhirnya Pancasila yang dipilih menjadi dasar negara Indonesia.
Sukarno pun tidak memaksa kepada peserta rapat untuk menyetujui Pancasila, Trisila dan Ekasila sekaligus. Akhirnya BPUPKI setuju Pancasila yang dijadikan dasar negara.
Mulanya, Sukarno menyampaikan bahwa Indonesia, sebagai negara merdeka, perlu memiliki dasar yang kuat, identik dan sejalan dengan prinsip masyarakatnya. Sukarno menyampaikan lima poin, yakni Kebangsaan, Internasionalisme atau perikemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial dan Ketuhanan yang Berkebudayaan.
Berikut kutipan pidato Sukarno yang dimuat dalam Risalah Rapat BPUPKI tentang Trisila dan Ekasila setelah menyampaikan 5 gagasan tentang dasar negara pada 1 Juni 1945.
Saudara-saudara, "Dasar-dasar Negara" telah saya usulkan. Lima bilangannya. Inilah Panca Darma? Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat di sini. Dharma berarti kewajiban, sedang kita membicarakan dasar. Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukun Islam lima jumlahnya. Apa lagi yang lima bilangannya?
(Seorang yang hadir: Pandawa Lima)
Pandawa pun lima orangnya. Sekarang banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan, lima pula bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa saya, namanya ialah Pancasila. Sila artinya asas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi. (peserta rapat tepuk tangan riuh).
Atau, barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka akan bilangan lima itu? Saya boleh peras, sehingga tinggal 3 saja. Saudara-saudara tanya kepada saya, apakah "perasan" yang tiga itu?
Berpuluh-puluh tahun sudah saya pikirkan dia, ialah dasar-dasarnya Indonesia Merdeka, Weltanschauung kita. Dua dasar yang pertama, kebangsaan internasionalisme, kebangsaan dan perikemanusiaan, saya peras menjadi satu: itulah yang dahulu saya namakan socio-nationalism.
Dan demokrasi yang bukan demokrasi Barat, tetapi politiek-economische democratie, yaitu politieke demokrasi dengan sociale rechtvaardigheid, demokrasi dengan kesejahteraan. Saya peraskan pula menjadi satu: inilah yang dulu saya namakan socio-democratie. Tinggal lagi ketuhanan yang menghormati satu sama lain.
Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga, socio-nationalism, socio-democratie, dan ketuhanan. Kalau Tuan senang kepada simbolik tiga, ambillah yang tiga ini. Tetapi Barang kali tidak semua Tuan-tuan senang kepada Trisila ini , dan minta satu-satu dasar saja? Baiklah, saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang satu itu?
Sebagai tadi telah saya katakan: kita mendirikan Negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemiko yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia, semua buat semua!
Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan "gotong-royong". Negara Indonesia yang kita dirikan Negara gotong royong! Alangkah hebatnya! Negara Gotong Royong ! (Peserta rapat tepuk tangan riuh-rendah )
"Gotong Royong" adalah faham yang dinamis, lebih dinamis dari "kekeluargaan ", saudara-saudara! Kekeluargaan adalah satu faham yang statis, tetapi gotong -royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat Soekardjo satu karya, satu gawe.
Marilah kita menyelesaikan karya-gawe‚ pekerjaan‚ amal ini‚ bersama-sama! Gotong-royong adalah pembantingan tulang bersama‚ pemerasan keringat bersama‚ perjuangan bantu-membantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua‚ keringat semua buat kebahagiaan semua∙ Ho‐lopis kuntul‐baris buat kepentingan bersama! Itulah gotong‐royong! (Tepuk tangan riuh-rendah ).
Prinsip gotong royong di antara yang kaya dan yang tidak kaya‚ antara yang Islam dan yang Kristen‚ antara yang bukan Indonesia tulen dengan peranakan yang menjadi bangsa Indonesia∙ Inilah‚ saudara ‐saudara‚ yang saya usulkan kepada saudara-saudara.
Pancasila menjadi Trisila, trisila menjadi Ekasila. Tetapi terserah kepada Tuan-tuan, mana yang Tuan-tuan pilih: Trisila, Ekasila ataukah Pancasila? isinya telah saya katakan kepada saudara-saudara semuanya. Prinsip-prinsip seperti yang saya usulkan kepada saudara-saudara ini adalah prinsip untuk rakyat Rusia, San Min Chu I tidak dapat menjadi kenyataan zonder perjuangan bangsa Tionghoa, saudara-saudara! Tidak!
Bahkan saya berkata lebih lagi dari itu: zonder perjuangan manusia, tidak ada satu hal agama, tidak ada satu cita-cita agama yang dapat menjadi realiteit. Jangankan buatan manusia, sedangkan perintah Tuhan yang tertulis di dalam kitab Quran, Zwart op wit (tertulis di atas kertas ), tidak dapat menjelma menjadi realiteit sonder perjuangan manusia yang dinamakan umat Islam.
Begitu pula perkataan-perkataan yang tertulis di dalam kitab Injil, cita-cita yang termasuk di dalamnya tidak dapat menjelma sonder perjuangan umat Kristen.
Maka dari itu, jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Pancasila yang saya usulkan itu, menjadi realiteit, yakni jikalau kita ingin hidup menjadi satu bangsa, satu nationaliteit yang merdeka, ingin hidup sebagai anggota dunia yang merdeka, yang penuh dengan perikemanusiaan ingin hidup di atas dasar permusyawaratan, ingin hidup sempurna dengan sociale rechtvaardighead, ingin hidup sejahtera dan aman, dengan ketuhanan yang luas dan sempurna, jangan lupa akan syarat untuk menyelenggarakan ialah perjuangan, perjuangan, dan sekali lagi perjuangan.
Jangan mengira bahwa dengan berdirinya Negara Indonesia Merdeka itu perjuangan kita telah berakhir. Tidak! Bahkan saya berkata: Di dalam Indonesia Merdeka itu perjuangan kita harus berjalan terus, hanya lain sifatnya dengan perjuangan sekarang, lain coraknya. Nanti kita bersama-sama, sebagai bangsa yang bersatu padu, berjuang terus menyelenggarakan apa yang kita cita-citakan di dalam Pancasila.
Dan terutama di dalam zaman peperangan ini, yakinlah, insaflah, tanamkanlah dalam kalbu saudara-saudara, bahwa Indonesia Merdeka tidak dapat datang jika bangsa Indonesia tidak berani mengambil risiko, tidak berani terjun menyelami mutiara di dalam samudra yang sedalam-dalamnya.
Jikalau bangsa Indonesia tidak bersatu dan tidak menekad mati-matian untuk mencapai merdeka, tidaklah kemerdekaan Indonesia itu akan menjadi milik bangsa Indonesia buat selama-lamanya, sampai ke akhir zaman! Kemerdekaan hanyalah diperdapat dan dimiliki oleh bangsa yang jiwanya berkobat-kobar dengan tekad "Merdeka, merdeka atau mati!" (tepuk tangan riuh)
Saudara-saudara! Demikianlah saya punya jawab atas pertanyaan Paduka Tuan Ketua. Saya minta maaf, bahwa pidato saya ini menjadi panjang lebar, dan sudah meminta tempo yang sedikit lama, dan saya juga minta maaf, karena saya telah mengadakan krikitik terhadap catatan Zimukyokutyoo yang saya anggap verschrikkelijk zwaarwiching itu. Terima kasih!
(Tepuk tangan riuh rendah dari segenap hadirin). (*)
Artikel ini telah tayang di cnnindonesia.com dengan judul "Isi Pidato Trisila-Ekasila Sukarno yang Kini Masuk RUU HIP"