POLITIKAL.ID - Menko Maritim dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan menyebut harga nikel terlalu tinggi akan sangat berbahaya bagi perekonomian Indonesia.
Diketahui, saat ini Indonesia merupakan negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia.
"Kalau harga nikel terlalu tinggi itu sangat berbahaya, kita belajar dari kasus cobalt tiga tahun lalu harganya begitu tinggi, orang akhirnya mencari bentuk baterai lain. Ini salah satu pemicu lahirnya lithium ferro phosphate (LFP) itu," ujar Luhut dilansir dari Antara, Kamis (25/1/2024).
Begitu juga dengan nikel, ia mengatakan jika harga nikel terlalu tinggi maka industri baterai listrik juga akan mencari alternatif lain.
"Jadi, ini kalau kita juga bikin harga itu ketinggian, orang akan cari alternatif lain, teknologi berkembang sangat cepat," kata Luhut.
Lebih lanjut, ia juga menekankan bahwa lithium battery berbasis nikel itu bisa didaur ulang. Namun, LFP sampai saat ini belum bisa didaur ulang.
"Tetapi ingat lithium battery itu bisa recycling, sedangkan tadi yang LFP itu tidak bisa recycling sampai hari ini tetapi sekali lagi teknologi itu terus berkembang. Kita bersyukur LFP juga kita kembangkan dengan China, tadi lithium battery juga kita kembangkan dengan China maupun dengan lain-lain," kata Luhut.
Dalam kesempatan itu, ia juga merespons kritikan perihal harga nikel anjlok. Luhut mengatakan bahwa seharusnya dapat dilihat tren harga nikel dalam 10 tahun terakhir.
"Kan siklus daripada komoditi itu kan naik turun apakah itu batu bara, nikel, timah atau emas apa saja tetapi kalau kita melihat selama 10 tahun terakhir ini harga nikel dunia itu di 15.000-an dolar AS bahkan pada periode 2014-2019 periode hilirisasi mulai kita lakukan harga rata-rata nikel itu hanya 12.000 dolar AS," ungkapnya.
Selain itu, Luhut juga menyebut bahwa program hilirisasi yang dilakukan bermanfaat bagi perekonomian Indonesia.
"Pernah kita inflasi di bawah 3%? kan baru sekarang. Pernah 44 bulan kita surplus ekspor? kan baru sekarang, apa itu? Ya hilirisasi. Kita bisa maintain growth masih 5% di tengah-tengah keadaan ekonomi dunia begini dan kita masih berupaya di atas 5%, mungkin 6% di tahun depan," ujarnya.
(Redaksi)