POLITIKAL.ID - Terpilihnya kembali Zulkifli Hasan sebagai Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) disebut-sebut sebagai penanda berakhirnya pengaruh Amien Rais. Bagaimana kiprah politisi gaek yang juga salah satu pendiri partai berlambang matahari itu?
Berawal pada Mei 1998 Amien Rais bersama 50 tokoh cendekiawan dan budayawan mendirikan Majelis Amanat Rakyat (MARA). Amien saat itu didapuk selaku juru bicara. Dia mengambil panggung membacakan tuntutan agar Presiden Soeharto mundur dari jabatannya agar proses reformasi bisa berjalan.
Setelah Soeharto mundur pada 21 Mei 1998, Amien mendesak presiden baru BJ Habibie agar menyatakan diri sebagai pemerintahan transisional. Dia pun menuntut pemilu dipercepat. Tak lama setelah permintaan itu, Amien menyatakan ambisi politiknya dengan siap dicalonkan sebagai presiden keempat.
Dalam buku "Amien Rais, dari Yogya ke Bina Graha" diceritakan sejumlah pendiri MARA seperti Ulil Absar Abdallah menyokong Amien jadi presiden dalam pemilu selanjutnya. Menurut Ulil, Amien punya sumber daya dan dukungan yang sangat kuat. Amien mengaku saat itu mengambil sikap netral.
Namun dalam sebuah rapat MARA, seorang pendiri bertanya pada Amien, "Mas, Anda ini ingin jadi presiden apa tidak?" Amien menjawab,"Sebetulnya saya tidak pernah bermimpi sedikit pun menjadi seorang presiden, tetapi kalau dipanas-panasi terus, saya jadi penasaran, gimana sih rasanya jadi seorang presiden."
MARA kemudian bertransformasi jadi partai politik pada Agustus 1998. Partai ini kemudian diberi nama Partai Amanat Nasional (PAN). Tercatat beberapa nama sebagai pendirinya seperti Abdillah Toha, Goenawan Mohammad, Hatta Rajasa, Albert Hasibuan, dan Toety Heraty.
Para pendirinya itu menyatakan PAN adalah sebuah partai terbuka. Meski kemudian kerap disebut partainya orang Muhammadiyah karena tak lepas dari sosok Amien Rais ketua umum pertama yang juga merangkap ketua umum ormas Muhammadiyah.
Politikus kelahiran Surakarta itu lalu menyebut "kawin" dengan PAN dan meninggalkan "pacar"-nya Partai Persatuan Pembangunan yang sangat dicintainya karena sejumlah pertimbangan. "Saya melangkah memecahkan dilema yang memang pelik," katanya dalam buku itu.
Menurut Amien, pertimbangan itu yakni lewat PAN komunikasi antaragama, antarsuku, antarras, dan antargolongan yang terkadang tidak jalan, dipercaya bisa diatasi secara dini. "Proses saling simpati dan saling empati kiranya dapat tercapai dalam sebuah partai terbuka seperti PAN," ujar Amien.
Akhir 1998 partai berlambang matahari ini resmi mengumumkan pencalonan ketuanya sebagai calon presiden sesuai rekomendasi Rapat Kerja Nasional(Rakernas) PAN pertama yang digelar di Bandung, 16-18 Desember 1998.
Pada wartawan, Amien menyatakan jika terpilih, dia akan mengembangkan demokrasi tanpa embel-embel. "Demorasi dikasih embel-embel maka akan rusak. Demokrasi terpimpin rusak, demokrasi Pancasila rusak. Demokrasi yang kita kembangkan adalah demokrasi yang bersifat universal."
Namun rupanya hasil Pemilu 1999 menempatkan PAN "hanya" mendapatkan 34 kursi di DPR. Meski demikian, Amien mampu bermanuver menggalang partai Islam membentuk sebuah koalisi dengan nama Poros Tengah. Aliansi ini menggagalkan upaya partai pemenang Pemilu, PDIP memajukan ketua umumnya Megawati Sukarnoputri sebagai presiden.
Amien justru mendekati Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Ketua Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar menceritakan kisah Amien Rais mengajaknya ke kediaman Gus Dur di Ciganjur. Saat itu, pada Gus Dur, Amien mengatakan Indonesia butuh pemimpin yang bisa jadi penengah. Dan tokoh itu adalah Gus Dur.
Setelah Amien Rais selesai bicara, Gus Dur tiba-tiba duduk dari posisi tidurnya. Gus Dur menyatakan menerima permintaan Poros Tengah itu untuk menjadi calon presiden Indonesia. Cak Imin mengaku kaget mendengar pernyataan Gus Dur itu. Namun kata Cak Imin, Amien saat itu lebih kaget lagi.
Ternyata menurut pengakuan Cak Imin, jawaban yang dilontarkan Gus Dur itu tidak sesuai dengan skenario yang diinginkan Amien Rais. Amien menyangka Gus Dur akan menolak permintaan tersebut, lalu menyerahkan posisi calon presiden padanya.
Perjalanan politik Amien terus bergulir. Doktor ilmu politik lulusan Universitas Chicago, Amerika Serikat itu lewat koalisinya berhasil menduduki jabatan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Sementara Gus Dur jadi presiden dengan Megawati sebagai wakilnya pada akhir Oktober 199.
Namun, belum genap setahun Gus Dur memerintah, kekuasaannya mulai diutak-atik. Pertengahan tahun 2000, Amien menyatakan kecewa atas kinerja pemerintahan Gus Dur. Dia menyatakan Poros Tengah siap berkoalisi dengan PDIP.
Situasi politik di DPR pun berbalik menentang Gus Dur. Ditandai dengan terbentuknya Pansus DPR untuk menyelidiki Bulog Gate dan Brunei Gate. Amien sebagai Ketua MPR juga ikut berbalik mendorong Gus Dur lengser dari kursi presiden.
Gus Dur akhirnya dimakzulkan lewat Sidang Istimewa MPR pada 23 Juli 2001. Sementara Amien menyelesaikan masa tugasnya sampai 2004. Namun ternyata, hasrat Amien untuk menjadi presiden belum padam. Pada Pilpres 2004, dia mencoba peruntungannya. Kala itu, PAN mengusung Amien berpasangan dengan Siswono Yudhohusodo.
Hasilnya, Amien-Siswono hanya mendapatkan posisi keempat di bawah Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi, serta Wiranto-Salahuddin Wahid. Pasangan itu hanya memperoleh dukungan sebesar 17,3 juta atau 14,66% dari total suara.
Gagal pada masa itu tak lantas membuat rasa penasaran Amien akan kursi presiden terbenam. Pada pertengahan 2018 lalu, Amien yang juga Ketua Dewan Kehormatan PAN menyatakan keinginannya maju dalam bursa capres 2019 PAN.
Amien menyebut terinspirasi Mahathir Mohamad yang memenangi pemilihan umum dan terpilih sebagai Perdana Menteri Malaysia meski telah menginjak usia 92 tahun. Namun usahanya tak terwujud. PAN memilih mendukung pasangan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. (*)
Artikel ini telah tayang di detik.com dengan judul "Kisah Ambisi Politik dan Sepak Terjang Amien Rais di Partai Matahari" https://news.detik.com/berita/d-4896718/kisah-ambisi-politik-dan-sepak-terjang-amien-rais-di-partai-matahari/5