Untuk itu, dia menilai penundaan pilkada mutlak dilakukan. Penundaan bertujuan untuk memberi ruang kepada pemerintah dan DPR bersama penyelenggara pemilu mengubah regulasi dan memasukkan pasal tambahan yang bisa menjamin terlindunginya warga dari penularan virus.
“Revisi undang-undang adalah untuk menghapus pasal-pasal yang menciptakan kerumunan, mengatur agar ada peran TNI dan Polri untuk mengatur jarak pemilih di luar TPS, dan mengatur dengan jelas, ketat jam kedatangan pemilih,” ujarnya saat dihubungi kemarin.
Dia memperkirakan pembahasan revisi U tidak perlu tidak terlalu lama sehingga pilkada bisa mundur ke Maret 2021.
Menurutnya, sebaiknya perubahan regulasi cukup dalam bentuk revisi UU saja.
“Jadi poin pertama, tarik dulu rem daruratnya (tunda pilkada), tahapan cukup sampai penetapan calon saja. Tapi untuk masa kampanye, tunggu selesainya revisi undang-undang,” ujarnya.
Qodari mengatakan, penundaan pilkada bisa saja dilakukan, apalagi jika melihat preseden penundaan pilkada dari yang tadinya 24 September 2020 menjadi 9 Desember 2020.
Waktu itu, rapat dengar pendapat antara Komisi II DPR, Kemendagri, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) membuat tiga opsi penundaan, yakni Desember 2020, Maret 2021, dan September 2021.
“Kalau melihat presedennya, keputusan penundaan bisa diambil melalui rapat bersama. Sekarang tinggal kesepakatan saja antara pihak-pihak tersebut,” ujarnya.
Ledakan Penularan Virus
Qodari memiliki hitungan-hitungan yang menjadi alasan mengapa pilkada harus ditunda dan mengubah UU Pilkada.
Dia mencontohkan masa kampanye, jika tidak ada antisipasi berupa perubahan kebijakan maka dia memperkirakan sekitar satu juta titik penyebaran Covid-19 selama 71 hari kampanye.
Dia mengaku membuat hitung-hitungan matematis yang mengacu pada data yang diperolehnya dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Menurutnya, Pilkada 2020 akan diikuti oleh 1.468 calon dari total 734 pasangan calon peserta pilkada.
Dari jumlah tersebut, setiap calon biasanya akan menggelar pertemuan sebanyak 10 kali setiap harinya, mulai rapat umum, kampanye, hingga pertemuan terbatas.
Dengan demikian, dari jumlah rata-rata pertemuan itu, dikalikan dengan jumlah calon, lalu dikalikan 71 hari masa kampanye maka akan tercipta sekitar 1 juta titik penyebaran Covid-19.
Jika di setiap titik diasumsikan dihadiri maksimal 100 orang pendukung, sebagaimana disyaratkan pada PKPU, maka ada sekitar 100 juta orang yang akan terlibat interaksi secara langsung selama masa kampanye.
Jika positivity rate Indonesia 19%, kata Qodari, maka potensi orang tanpa gejala (OTG) yang menjadi agen penularan selama 71 hari masa kampanye sebanyak 19 juta orang lebih.