POLITIKAL.ID - Residu pelaksanaan Pemilu 2024 dipastikan masih bakal dirasakan pada pelaksanaan Pemilu 2029.
Hal itu disampaikan pengamat politik dari Universitas Pamulang (Unpam) Sonny Majid dalam sebuah forum dengan tema "Refleksi Pilkada 2024 Strategis dan Semangat Bawaslu Mengawal Demokrasi Menuju Pemilu dan Yang Lebih Baik".
Kegiatan itu berlangsung di Tangerang Selatan pada, Jumat (14/3/2025).
Dalam kesempatan itu, Sonny Majid menyebut bahwa residu pelaksanaan Pemilu 2024 dipastikan masih bakal dirasakan pada pelaksanaan Pemilu 2029.
Kemudian ia mempertanyakan apa yang akan dilakukan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pada Pemilu 2029?
Simak opini Sonny Majid berikut ini yang telah terbit di POSTULAT:
Residu pelaksanaan Pemilu 2024 dipastikan masih bakal dirasakan pada pelaksanaan Pemilu 2029.
Lantas Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mau bagaimana, mau apa, mau seperti apa dan seterusnya.
Namun sebelumnya, mungkin sedikit diulas tentang bagaimana masyarakat sendiri memahami peran Bawaslu.
Subjektifitas saya, sejauh ini publik masih beranggapan kerja-kerja lembaga pemantau pemilu belum bekerja maksimal.
Perlu disampaikan, bahwa kerja-kerja pengawasan pemilu lalu memang berhadapan langsung dengan tekanan-tekanan politik.
Kondisi ini lebih genting lantaran masyarakat sepertinya lebih memilih membangun relasi politik dengan para kandidat atau tim pemenangan ketimbang ikut serta dalam mengawasi tahapan-tahapan pemilu.
Dalam kurun dekade, ikatan masyarakat lebih dominan pragmatismenya, hal ini berkaitan langsung dengan eksistensi/aktualisasi di masing-masing lingkungan sosial.
Selain tekanan kuasa, pada pemilu lalu tidak bisa dipungkiri tekanan juga datang dari aparatur negara, akibatnya masyarakat enggan berurusan dengan persoalan hukum (melaporkan dugaan pelanggaran pemilu).
Bukan tanpa alasan, sejauh ini perlindungan hukum bagi masyarakat yang melapor (pelapor) tidak tampak, alih-alih malah terancam keselamatannya.
Bahkan, masih ada oknum penyelenggara pemilu sendiri dan aparat negara, justru menarik garis relasi kekuasaan dengan pelaku politik yang membuat penanganan dugaan pelanggaran pemilu khususnya kategori pidana cenderung ditangani biasa-biasa saja, bahkan menguap.
Untuk meningkatkan transparansi pemilu melalui pengawasan partisipatif, sudah selayaknya kewenangan Bawaslu diperkuat, terutama dalam hal eksekusi hukum. Perlu adanya dukungan regulasi terkait penguatan peran tersebut. Di luar pastinya, pengaturan mengenai perlindungan hukum bagi masyarakat yang melaporkan.
Berdasarkan pantauan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) yang disampaikan Deputi Sekretariat Nasional JPPR, Aji Pangestu, sebanyak 56 pasangan calon kepala daerah kabupaten/kota yang menang dari total 506 daerah yang dipantau, berangkat dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 60/PUU-XXII/2024, adalah pasangan calon yang sebagian besar diusung satu partai politik.
Artinya, menurut Aji, ada keinginan pemilih untuk tidak memilih pasangan calon yang diusung koalisi partai politik yang gemuk. Hal itu menunjukkan bukti pemilih semakin belajar dari pengalaman beberapa periode pemilu dan pilkada sebelumnya. Terlepas ada pro-kontra berkaitan dengan “vote buying” yang memengaruhi partisipasi pemilih secara substansial.
Masih kata Aji, pemilih sangat memahami urgensitas memilih pemimpin yang sedikit lebih baik, di antara calon-calon buruk. Analisis itu kian menguatkan sinyalemen positif kedaulatan rakyat dalam sistem pemilihan langsung.
Dalam kesempatan diskusi, Adi menyampaikan rekomendasi JPPR baik secara internal dan eksternal.
Secara internal, JPPR mendorong adanya penataan ulang desain jadwal pilkada yang establish, prepare, predictable (momentum prolegnas 2025), tak lupa desain kampanye yang efektif, efisien dan substantif.
JPPR melihat masih dibutuhkan roadmap pendidikan pemilih sesuai kondisi objektif pemilih, sinkronisasi koordinasi KPU RI dan KPUD menyangkut regulasi, kebutuhan dan kapasitas. Rekomendasi internal selanjutnya adalah penguatan komunikasi kepada pihak eksternal, seperti CSO, OKP, akademisi, penggiat pemilu, dan tranparansi peningkatan teknologi Sirekap.
Sedangkan rekomendasi eksternalnya, adalah mendorong keserentakan pemilu sebagaimana putusan MK 55/PUU-XVII/2019 bahwa waktu pelaksanaan sebagaimana hasil kajian pelaksanaan Pemilu 2024, berjeda satu tahun. Maka Pemilu nasional (Pilpres dan Pileg RI) berlangsung pada April 2029. Sedangkan Pemilu local (Pileg dan Pilkada provinsi, kabupaten/kota) berlangsung pada April 2030.
Hal tersebut ada kaitannya dengan refleksi partisipasi pemilih dan kesiapan konsolidasi pusat serta daerah, yang harus berkoordinasi intensif serta memperhatikan kesiapan pemerintah daerah dalam menggelar pemilu lokal.
Keberpihakan terhadap pemilih harus selaras dengan visi, misi dan program janji kampanye baik pemilu dan pemilihan. Selanjutnya para pemimpin harus giat untuk melaksanakan jaring aspirasi masyarakat dengan memperhatikan serangkaian tuntutan serta mengambil keputusan secara negosiasi dan demokratis.
Sehingga pemimpin dan atau parpol pendukung paslon terpilih mampu melaksanakan fungsi mandat aspirasi rakyat secara implementatif.
Rekomendasi eksternal selanjutnya adalah inklusivitas pada kebutuhan kelompok rentan (disabilitas, non-binary, masyarakat adat) juga kepada perempuan dan Gen-Z dalam kaitan akses berpolitik dan pelayanan dalam kepentingan electoral, harus dirumuskan dalam kebijakan nasional yang terstruktur hingga daerah serta mendapatkan monitoring secara khusus agar ada perbaikan dalam hal kesejahteraan serta komitmen perbaikan yang lebih baik. (*)