Pertama, dalam satu dekade terakhir, perubahan terhadap UU MK, lebih banyak mengotak-atik masa jabatan hakim konstitusi. Perubahan terhadap UU MK belum menyentuh pokok-pokok yang krusial bagi penguatan kewenangan dan kelembagaan MK.
"Kedua, kami melihat terdapat indikasi untuk mengotak-atik konfigurasi hakim konstitusi agar terisi jajaran yang lebih sesuai dengan kehendak DPR dan Presiden," tuding CALS.
Kelompok akademisi ini menjelaskan, pasal 23A ayat (2), (3), dan (4) perubahan keempat UU MK menjadi dasar recall (penarikan kembali) hakim konstitusi dengan mekanisme evaluasi per 5 tahun oleh lembaga pengusul. Pengaturan ini seolah hendak mengancam independensi dan imparsialitas kewenangan konstitusional MK.
"Sebab, hakim konstitusi akan dependen pada kehendak lembaga pengusul," ujar CALS.
Ketiga, CALS menemukan upaya intervensi terhadap MK tak hanya pada masa jabatan dan penyelenggaraan kewenangan saja, melainkan juga pada lembaga penegak etiknya. Pasal 27A Perubahan Keempat UU MK menambahkan tiga personil MKMK yang diusulkan oleh tiga lembaga pengusul.
"Konfigurasi demikian potensial mempersempit ruang bagi MKMK untuk lebih independen mengawasi kinerja sembilan hakim konstitusi, sehingga semakin mudah diintervensi oleh lembaga pengusul di masa depan," ujar CALS.
Keempat, Pasal 87 Perubahan Keempat UU MK menjadi aturan peralihan yang mengindikasikan adanya upaya untuk menyaring hakim konstitusi petahana. Yaitu, dengan mengatur perlunya persetujuan lembaga pengusul bagi: (a) hakim konstitusi yang telah menjabat lebih dari 5 tahun dan kurang dari 10 tahun untuk melanjutkan masa jabatannya; dan (b) hakim konstitusi yang telah menjabat melebihi 10 tahun untuk melanjutkan masa jabatan hingga usia 70 tahun.
(Redaksi)