Miskonsepsi antara pencegahan dan menurunkan angka pelecehan dan kekerasan
Pembahasan RUU PKS menjadi perdebatan hingga saat ini. Menurut Hetifah, kemungkinan ada problem itu dipengaturan dan menganggap RUU ketahanan keluarga menurunkan angka kekerasan terhadap perempuan.
Padahal tidak mungkin hanya pencegahan saja ditengah masih tingginya kasus kekerasan. RUU PKS juga bisa menjadi pencegahan yang paling ampuh.
Alasan kesetujuannya juga karena RUU PKS selain bisa sebagai pelindung dan memberikan kejelasan tindakan penanggulangan, pun sanksi hukum bila terjadi pelanggaran bisa lebih jelas.
Lamanya pengesahan RUU PKS tak lepas dari dinamika yang terjadi, hal itu karena ada yang beranggapan KUHP juga tersusun dulu baru RUU disahkan.
Dengan pengaturan yang jelas pengesahan RUU PKS kemudian dapat memberikan efek jera dan membuat orang berhati hati.
Hetifah memyebut, sebelumnya RUU PKS sudah masuk Program legislasi nasional (Prolegnas) namun kondisi pandemi virus corona atau Covid-19 meubah pembahasan RUU PKS menjadi pembahasan lainnya yang dianggap prioritas.
Dirinya sangat bersyukur sekali kalau RUU PKS disahkan.
"Yang sekarang hukumannya kan terlalu ringan, jadi mungkin tidak membuat jera pelaku," terangya
Dalam pratiknya kata Hetifah lagi, tak semua pelanggaran yang telah dilaporkan kasusnya turut selesai dengan adil, cara melihat suatu masalah tidak adil dan diskriminatif itu bisa berubah.
Dengan begitu dengan UU Pencegahan ada langkah-langkah dari kepolisian melakukan lidik, serta rumah sakit pun bisa lebih ramah kepada perempuan untuk melakukan autopsi.
Pencegahan sedini mungkin bisa mulai dilakukan mulai dari diri sendiri kata Hetifah.
Yakni, harus tegas dan berani untuk melawan tindakan pelanggaran dengan melaporkan, dan disiapkannya call centre atau krisis center untuk saksi dan korban agar terlindungi.
Dan itu, sudah menjadi tanggung jawab pemerintah.
Kodisi lingkungan yang berpotensi terjadi pelecehan dan kekerasan segera diminimalisir semisal disekolahan, kampus, taman dengan lampu penerangan yang memadai.
"Kawasan atau zona publik anti kekerasan dan pelecehan harus pula sedari awal diterapkan," pungkasnya.
Sebagai informasi, disadur dari laman catatan akhir tahun (Catahu) 2020, Komnas Perempuan mencatat 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan terdiri dari 421.752 kasus, bersumber dari data kasus/perkara yang ditangani Pengadilan Agama.
Lainnya 14.719 kasus, ditangani lembaga mitra pengaduan dan layanan yang tersebar sepertiga provinsi di Indonesia.
Lainnya lagi 1419 kasus dari Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR), unit yang yang sengaja dibentuk Komnas Perempuan untuk menerima pengaduan korban yang datang langsung maupun menelepon ke Komnas Perempuan.
Dari 1419 pengaduan tersebut, 1.277 merupakan kasus berbasis gender dan tidak berbasis gender sebanyak 142 kasus.
Data kekerasan yang dilaporkan mengalami peningkatan signifikan sepanjang lima tahun terakhir. (Redaksi Politikal - 001)