Dia menuturkan harus ada perubahan besar dalam pengelolaan data penerima bansos. Khofifah menyarankan ada integrasi data dengan data kependudukan yang dikelola dukcapil.
Panggung Politik di Daerah
Analis Kebijakan Publik Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah mengatakan ada dua masalah utama dalam kesemrawutan data bansos yang berujung adu mulut antarpejabat pusat dan daerah.
Masalah pertama ada pada data penerima bansos yang lemah. Trubus bilang Kementerian Sosial tidak menjalankan aturan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin.
"Data itu menurut saya lemah ya, dalam arti data itu sekian lama enggak pernah di-update. Kan harusnya data itu di-update 6 bulan sekali, tapi hasil temuan BPK menemukan data itu tahun 2014," kata Trubus saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (11/5) malam
Keputusan Mensos Juliari menyerahkan data penerima bansos ke daerah juga dikritik Trubus. Menurutnya, hal itu tak perlu dilakukan jika Kemensos telah memperbaiki data secara berkala sesuai undang-undang. Dia juga menyebut kebijakan ini berisiko menimbulkan penyelewengan data penerima.
Masalah kedua menurut Trubus adalah politisasi bansos. Trubus melihat ada kecenderungan kepala daerah menyalurkan bantuan hanya kepada daerah pemenangannya. Hal itu membuat validitas data bansos menjadi dipertanyakan.
Politisasi bansos juga terjadi dalam hubungan pusat dengan daerah. Trubus menyayangkan tak ada keseriusan dari semua pihak mengurai kesemrawutan ini.
"Setelah ada temuan, bukannya langsung membenahi, tapi malah jadi panggung untuk saling menyalahkan," ujarnya.
Trubus mengatakan pemerintah pusat dan daerah perlu segera duduk bersama. Membentuk big data tunggal, kata Trubus, menjadi solusi tepat. DTKS harus dimutakhirkan berkala oleh Kemensos, kemudian diintegrasikan dengan data kependudukan Kemendagri. (*)
Artikel ini telah tayang di cnnindonesia.com dengan judul "Semrawut Data Bansos Corona, Saling Serang Pusat-Daerah"