"Obsesi untuk menafsirkan Pancasila secara ekspansif akan menimbulkan ekses negatif berupa menguatnya kontrol negara dalam kehidupan masyarakat. Penguatan eksesif kelembagaan BPIP dapat melahirkan kembali BP7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) di zaman Orde Baru yang praktiknya menjadi alat sensor ideologi masyarakat," kata dia.
Menurut Robikin, Pancasila yang terlalu ambisius akan kehilangan roh sebagai ideologi pemersatu.
Pada gilirannya dapat menimbulkan benturan-benturan norma dalam masyarakat.
Selain itu, Robikin beranggapan Pancasila adalah hukum tertinggi atau sumber dari segala sumber hukum yang termaktub di dalam Pembukaan UUD 1945.
Sebagai hukum tertinggi yang lahir dari konsensus kebangsaan, kata dia, Pancasila tidak bisa diatur oleh peraturan perundang-undangan yang lebih rendah.
"Pengaturan Pancasila ke dalam sebuah undang-undang akan menimbulkan anarki dan kekacauan sistem ketatanegaraan," kata dia
Robikin menilai Pancasila merupakan ideologi prinsip yang menjiwai sistem penyelenggaraan negara dan pemerintahan untuk mencapai tujuan dan cita-cita negara.
Penerjemahan Pancasila sebagai ideologi kerja selalu mempertimbangkan dinamika dan perkembangan zaman.
Menurutnya, pembakuan tafsir atas Demokrasi Pancasila dalam suatu undang-undang jelas akan mempersempit ruang tafsir yang memandekkan kreativitas, dan inovasi yang dibutuhkan untuk mendorong kemajuan bangsa sesuai dengan tuntutan zaman.
"Bahwa kesalahan yang terjadi di masa lampau terkait monopoli tafsir atas Pancasila tidak boleh terulang lagi. Kendati demikian hal ini bukan merupakan dasar dan alasan yang dapat membenarkan perluasan dan/atau penyempitan tafsir atas Pancasila dalam suatu undang-undang yang isinya mengatur demokrasi politik Pancasila dan demokrasi ekonomi Pancasila sebagaimana RUU HIP," kata Robikin